eBook 11-2: Kebijaksanaan atas Peristiwa 17 Oktober

Setelah bertugas selama empat tahun sebagai Pelaksana Kepala Staf Komando TT II Sriwijaya, di bawah tiga orang panglima berturut-turut: Letnan Kolonel R.A. Kosasih, Kolonel Bambang Utoyo, dan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo, suami saya berdasarkan keputusan KSAD tanggall April1956, dialih tugaskan ke Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di Jakarta. Sebagai penggantinya sebagai Kepala Staf TT II Sriwijaya ditunjuk Mayor Barlian.

Rupanya KSAD Kolonel A.H. Nasution ingin benar agarsuami saya membantunya di MBAD. Hal itu dijelaskan ketika suami saya melapor di MBAD. Namun dengan mengingat cita-cita dan pengalamannya semasa remaja dalam pendidikan di HIS dan MULO serta pergaulannya dengan Missi Zending dari Jerman, yaitu Rheinische Mission Gesellschaft, suami saya mengajukan permintaan agar dapat menjalankan tugas sebagai Atase Militer di Jerman. Untuk persiapannya ia meminta agar diberi kesempatan mengikuti pendidikan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalamannya sebagai perwira. Dalam rencana penugasan di Jerman Barat itu suami saya diputuskan untuk mengikhti Kursus Atase Militer, Gelombang 1, yang berlangsung di Jakarta. Selama kursus itu saya dan anak-anak pindah dari Palembang ke Medan.

Setelah selesai mengikuti Kursus Atase Militer, guna melengkapi pendidikan kemiliterannya, ia diberi tugas mengikuti Senior Officers Course, Angkatan ke-15, di India. Sebelum berangkat ke India, suami saya berkunjung ke Medan dulu untuk berpamitan.

Kursus di India yang berlangsung dari tanggal 17 September sampai 15 Desember 1956 itu dapat diselesaikannya dengan baik.

Ketika ia tiba kembali di Jakarta dan melapor ke MBAD, rupanya KSAD masih tetap menginginkannya agar membantudi MBAD. Barangkali saja penugasan agar mengikuti Senior Officers Course di India itu untuk mengganti penugasan sebagai Atase Militer di Jerman Barat. Dan ternyata, telah diangkat dan dikirimkan Letnan Kolonel (kemudian menjadi Kolonel) Askari ke Jerman sebagai Atase Militer di sana.

Oleh KSAD suami saya diberi cuti ke Medan untuk memikirkan tugas di MBAD nanti, namun suami saya tetap meminta agar dapat diberi kesempatan menjalankan tugas yang telah dipersiapkan secara sungguh-sungguh selama ini. Akhimya KSAD memutuskan untuk mengangkatnya sebagai Asisten Atase Militer di Jerman Barat. Keberangkatannya ke sana menunggu kelahiran anak kami yang keenam.

Pada tanggal 24 Februari 1957 anak keenam pun lahir dengan selamat di Rumah Bersalin Budi, Jalan Sungai Ular, yang sekarang menjadi Jalan D.l. Pandjaitan. Bayi puteri ini kami beri nama Riri Budiasri. Memang nama ini ada hubungannya dengan nama rumah bersalin tempat saya melahirkan.

Setelah surat-surat perjalanan ke Eropa sudah siap, kami sekeluarga dijemput ke Medan, dan selanjutnya dari Jakarta pada tanggal 29 April 1957 berlayar dengan kapal Willem Ruys dari Tanjung Priuk menuju Eropa. Keberangkatan kami yang ditunda hingga akhir bulan April itu adalah untuk menunggu sampai bayi saya berumur lebih dari satu bulan, yaitu umur yang dibenarkan untuk berlayar. Pelayaran itu memakan waktu hampir satu bulan. Willem Ruys menyinggahi Singapura, Colombo, Aden, tapi selanjutnya tidak dapat memasuki Laut Merah dan Terusan Suez karena pecah perang Mesir Israel.

Kapal berputar ke Cape Town di Afrika Selatan, selanjutnya ke Los Palmares, South Hampton, dan akhirnya berlabuh di Rotterdam. Kami menginap di kota pelabuhan besar itu dua malam, kemudian dengan menggunakan kereta api menuju Bonn, ibukota Jerman Barat.

Kami tiba di Bonn tanggal 31 Mei 1957 sore, lalu menginap di Hotel Stern selama satu bulan, sampai akhimya kami dapat rumah dinas di Robert Koch Strasse No. 24, Venusberg Bonn.

Esok harinya segera saja kami menernui Atase Militer Kolonel Askari di Kedutaan Besar Rl, selanjutnya Duta Besar Mr. Zairin Zain. Berdua bersama Kolonel Askari, suami saya menerima tugas-tugas penting.

Tenaga-tenaga yang membantu suami saya, tentu tidak terlupakan Pinta Simatupang, adik JenderalT.B. Simatupang, dengan kerapian kerjanya sebagai sekretaresse pada Atmilwaktu itu. Pinta Simatupang mengetahui banyak mengenai cara-cara suami saya bekerja selama di Bonn. Ia kemudian menikah dengan Ir. Jozef Gultom yang dulu bekerja di PlNDAD-Bandungdan kemudian mendapat kesempatan praktek di Fritz Nemer GmbH di Berlin, perusahaan yang pada sekitar tahun 1959 menjual alat-alat beserta pelatihan untuk mendirikan pabrik senjata PINDAD di Bandung.

Setelah Pinta Simatupang keluar dari pekerjaannya di Atmil Bonn, seingat Diapari Gultom yang mengenalnya dengan baik, Farida nenggantikannya sebagai sekretaris. Ia pun jadibanyak tahu tentang gaya dan semangat kerja suami saya. Ia tunjukkan hormatnya kepada suami saya sekeluarga.

Waktu itu suasana politik sangat menegangkan. Belanda bersitegang tidak mau mengembalikan Irian Barat, sedangkan situasi politik dan keamanan dalam negeri tak kurang panasnya setelah terbentuk Dewan Gajah dan Dewan Banteng yang menjurus pada separatisme dan perpecahan nasional. Dan tak lama kemudian meletuslah pemberontakan PRRI dan Permesta.