ebook - 4.1 Komandan Batalyon pertahanan kota

IV. KOMANDAN BATALYON, PERTAHANAN KOTA DAN LATIHAN


* Mengangkat martabat kaum papa
* Pencipta lambang, semboyan dan aba-aba
* Bagaimana mencukupi kebutuhan logistik?
* Ribuan bambu runcing dan mesin giling

Perkembangan politik nasional dan intemasional, yang dibarengi dengan penyempumaan berbagai instansi dan institusi pemerintahan oleh pemerintah Republik Indonesia, rnenyebabkan rnunculnya pertimbangan penting bahwa sudah saatnya Repubhk Indonesia memiliki alat keamanan yang teratur. Karena itu status dan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR) diubah menjadi Tentara Kearnanan Rakyat (TKR). Maka pada akhir November 1945 BKR Riau diresmikan menjadi TKR, Resimen IV, dengan komando yang berkedudukan di Pekan Baru. Peresmian Resimen IV beserta satuan-satuan jajarannya dilakukan oleh Panglirna Komandemen Sumatera, Jenderal Mayor Soehardjo Hardjowardojo. 

Dalarn susunan staf Resimen lV, Donald lsac Pandjaitan diangkat menjadi Komandan Batalyon I dan Kepala Latihan dengan pangkat Mayor. Perwira-pervvira lain yang diangkat ialah Letnan Kolonel Hassan Basrisebagai Komandan Resimen, MayorToha Hanafi sebagai Kepala Staf, Mayor Arifin Ahmad sebagai Komandan Batalyon ll, Mayor Jusuf Nur sebagai Komandan Batalyon Ill, Mayor Usman sebagai Komandan Batalyon IV, dan Mayor Harun Al Rasyid sebagai Komandan Batalyon V. Resimen IV TKR Riau ditempatkan di bawah komando Divisilll Bantengyang berkedudukan di BukitTinggi.

Guna menambah dan melengkapi jumlah anggota Resimen IV, Mayor Donald Isac Pandjaitan mendapat tugas untuk menerima langsung pendaftaran calon prajurit. Bekas Heiho, Gyugun, dan Kaigun yang diterima, mengingat keterampilan militer yang telah dimilikinya, ada yang dijadikan komandan Seksi dan Komandan Regu. Juga diterima tenaga dari bekas Romusha yang masih kuat badannya. Konon sejak dua tahun menjelang runtuhnya tentara pendudukan Jepang, keadaan ekonomi di Indonesia telah sangat jelek. HampirI semua penduduk Riau tidak makan nasi, hanya jagung dan ubi. Banyak sekali orang yang berpakaian compang-camping, bahkan tidak sedikit mengenakan goni untuk menutup aurat.

Pemandangan di Pekan Baru lebih mengiris hati; banyak bekas romusha asal Jawa yang bergelandangan. Tubuh mereka kurus kering dengan celana penutup aurat yang rontang-ranting. Sebenarnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang bersemangat tinggi di kota asalnya, tetapi terbujuk oleh mulut manis Jepang agar menjadi romusha sebagai penyumbang tenaga dalam perang. Setelah mereka diangkut ke Sumatera dan dipekerjakan sebagai buruh paksa untuk membuat jalan kereta api antara Pekan Baru dan Jambi dan di tambang emas Logas, jaminan makanan dan pakaian sangat terbatas. Banyak yang sudah meninggalkarena kehabisan tenaga dan serangan penyakit yang tidak diobati.

Donald lsac Pandjaitan terharu melihat nasib ·mereka, sehingga diberinya mereka kesempatan menjadi pengawal negara dan pembela bangsa dalam kesatuan TKI. Dengan demikian hidup mereka diberi arti dan nilai setelah terhina dan papa selama tahun-tahun penjajahan.
Setelah diterima sebagaiprajurit, mereka ditempatkan dalam barak peninggalan Jepang, diberi makan dan pakaian. Mereka yang lemah 24 tubuhnya diberi obat sisa peninggalan Jepang. Penerimaan terhadap mereka sebagai anggota TKR bukanlah semata·-mata untuk menambah jumlah pasukan, tetapi berdasarkan peri kemanusiaan dan memberi kesempatan untuk menyumbangkan tenaga agar berjasa bagi bangsanya.

Dalam tugas penerimaan anggota baru dan pemberian latihan selanjutnya serta penyusunan staf, D.l. Pandjaitan bekerja keras, berdasarkan semboyan yang selalu dipegangnya sejak kecil: Ora et Labora, Berdoa dan Bekerja.

Sudah barang tentu bukan secara mudah ia memilih tenaga inti untuk ditunjuk sebagai komandan kompi, seksi dan regu. Abdul Muis, bekas Heiho, yang terkenalgengki (sehat, lincah, gesit) ditunjuk menjadi komandan kompiyang berpangkat kapten, sedangkan Abdul Rahman, F. Sitindaon, Mohammad Arnir dan Ismail mendapat pangkat letnan dan diberi tugas sebagai pelatih.
Sesuai dengan siasat pertahanan kota pada akhir tahun 1945, Komandan Resimen IV Letnan Kolonel Hassan Basri menunjuk Mayor Pandjaitan menjadi Komandan Pertahanan Kota Pekan Baru, di samping sebagai Komandan Batalyon I dan Kepala Latihan. Ia segera menyusun inti pasukan, yaitu Kompi Abdul Muis yang bermarkas di Tengkareng. Kompi ini pindahan dari Batalyon IV pimpinan Mayor Usman Pohan. Ditempatkan pula dalam susunan pertahanan kota Seksi Ismail Ginting Suka sebagai Seksi Markas Resimen IV, dan selanjutnya dibentuk Kornpi Dahan Sagala yang bermarkas di Padang Tarutuk, dan Seksi Abdul Rahman di lapangan terbang Simpang Tiga.

Bagian-bagian dari Batalyon Pandjaitan tersusun lengkap; Bagian I dipimpin Letnan Suwadji, Kepala Bagian II dirangkap oleh Kepala Bagian I, Bagian III dipirnpin Kapten Hamid Jalalaen, dan Bagian IV dipirrtpin Letncu1 jas.1nan. Sebagai Komandan Seksi Markas ditunjuk Letnan Arafiatmin, dan wakilnya Sersan Mayor E. Haro Rajagukguk.

Sebagai Kornandan Batalyon Pandjaitan menciptakan lambang Batalyon, yang waktu itu disebut panji, sedangkan sekarang dinamakan tunggul. Ukurannya 60 X 90 cm, dengan warna dasar merah. Ditengah- tengah terdapat tiga hulatan berwama putih, bagian pinggirnya disulam wama jingga. Ketiga lingkaran itu saling berkaitan, dengan kedalaman 6 cm. Waktu itu kain beludru tidak ada, karena itu panji dibuat dengan kain yang halus. Makna lambang dan panji tersebut"Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."

Kelengkapan persenjataan Batalyon Pandjaitan ketika itu masih sangat tidak memadai. Rata-rata satu pucuk senjata untuk lima orang. Karena itu dengan segala cara diusahakan menambahnya. Adapun caranya antara lain merarnpas daritangan Jepang, mencuri dari gudang Jepang, meminta atau memperolehnya dari mana saja, dan membeli dari pemilik senjata.

Ketika pasukan Jepang yang kalah perang itu meninggalkan Pekan Baru dan Riau, mereka membuang berbagai senjata yang tidak didaftarkan pada Sekutu. Banyak senjata yang diceburkan ke dalam Sungai Siak. Maka dalam upaya menambah dan mencari senjata, D.l. Pandjaitan membentuk regu penyelam untuk mengangkat kembali senjata-senjata Jepang itu. Hasilnya menggembirakan, bukan hanya memperoleh banyak senapan dan bayonet, juga senapan mesin, peluru dan granat berpeti-peti. Hasil perolehan dari regu penyelam ini membuat persenjataan Batalyon bertambah banyak, dengan perbandingan satu senjata untuk tiga prajurit. Upaya memperbanyak senjata selanjutnya dilakukan dengan jalan membeli dari luar daerah, malahan dari Sibolga dan Singapura.

Untuk mencukupi kebutuhan makanan, pemerintah setempat memang berusaha mencukupinya, namun kurang memadai. Rakyat pun diminta oleh pemerintah daerah agar menyumbang, tetapi daerah ; Riau kurang subur sehingga tidak banyak hasil buminya. Sebagian besar wilayah Riau masih berupa hutan dan rawa. Dalam upaya mencukupikebutuhan beras dilakukan berbagaicara, antara lain dengan mengusahakan penyelenggaraan angkutan antarpropinsi berdasarkan perjanjian bagi hasil, dan melakukan perdagangan barter dengan pedagang-pedagang Singapura dan Malaka.
Kebetulan ada kendaraan-kendaraan bermotor yang rusak dan ditinggalkan Jepang di lapangan sepakbola Okadatai, kampung Bukit. Karena lapangan Bukit letaknya di Pekan Baru, kendaraan-kendaraan itu diusahakan mennjadi alat angkutan Batalyon. Setelah diperbaiki selanjutnya dapat digunakan untuk rnengangkut berbagai bahan dan barangke Sumatera Barat danSibolga bolak-balik. Usaha pengangkutan itu dipimpin oleh Letnan Jasman dan Sersan Mayor Syamsuddin Thaib.
*
Pada suatu hari datanglah di Pekan Baru tokoh TKR dari Tapanuli, Letnan Kolonel Lucius Aruan. Ia mengendarai sendiri mobilnya yang berbendera merah, memakai baju seragam lengkap, menyandang pistol dan pedang samurai. Rarnbutnya panjang menjejak bahu. Sengaja ia datang mencari Pandjaitan. Mungkin sebelumnya ia pemah berkenalan semasa bersekolah di HIS Narumonda, Balige. Kepada D.l. Pandjaitan ia menyatakan keinginan hendak bertemu dengan Komandan Resimen IV.

D.I. Pandjaitan dengan senang mempertemukan Letnan Kolonel Aruan dengan Letnan Kolonel Hassan Basri. Terjadilah pernbicaraan, dan akhirnya terjalin kerja sama perdagangan barter antara Tapanuli dan Riau. Dari Tapanuli akan dikirimkan beras, senjata dan kemenyan, sedangkan dari Riau akan diangkut kain dan pakaian bekas milik Sekutu dari Singapura.

Kerja sama perdagangan barter itu segera terlaksana. Selang beberapa hari datanglah iring-iringan enam truk dari Sibolga yang dipimpin oleh Letnan Satu T. D. Pardede,· membawa beras dan kemenyan. Truk-truk itu diberi pangkalan di halaman Markas Batalyon , sedangkan T. D. Pardede menginap di rumah Pandjaitan. Truk truk itu kemudian kembali ke Sibolga membawa kain, dan pakaian militer bekas pasukan Sekutu.

Perdagangan barter ini berlangsung terus. Dari Sibolga, Pardede pernah membawa sepucuk meriam pantai, lengkap dengan peluru, bahkan dengan seorang instruktur bekas serdadu Jepang. Meriam itu dipasang pada tongkang besipeninggalanJepang dan ditarik oleh dua kapal motor. Senjata inilah yang digunakan oleh prajurit-prajurit.  Pardede di kemudian hari menjadi pengusaha terkenal di Medan dan pernah menjadi Menteri Berdikari.

Resimen IV untuk menyerang dan menghalau kapal-kapal Belanda di perairan Selat Bengkalis, Kuala Siak. Pasukan meriam pantai dipimpin oleh Letnan Muhammad Pangeran. Setelah berkali-kati berhasil menembak kapal-kapal patroli Belanda, terbukalah dengan aman pelayaran dan penyelundupan dari Kuala Sungai Siak ke Singapura.

Adapun sebagian perlengkapan dan pakaian untuk anggota anggota Batalyon I memang diterima dari Resirnen IV, tetapi sebagian lagi diantaranya harus diusahakan sendiri. Perlengkapan ini kebanyakan pakaian seragam lnggris yang dibeli diSingapura. Namun ada juga yang memakai seragam Jepang. Kain hasil barter dari Singapura juga dijahit menjadi seragam TKR. Peci yang dipakai berwama coklat dan hitam, bentuknya seperti peci pramuka atau bivakmuts. Batalyon Pandjaitan juga memperoleh perlengkapan kantor, bengkel dan kendaraan bermotor seperti truk, pick-up, sepeda motor, dan peralatan rumah sakit dari bekas markas }epang di Okadatai.

Sebagai Kepala Bagian Latihan, Pandjaitan membuat ·aba-aba dalam bahasa Indonesia, hasil terjemahannya dari bahasa Jepang dan Belanda. Dalam hallatihan, ia memisahkan antara bekas tentara Jepang seperti Heiho, Gyugun dan Kaigun dengan bekas romusha yang badannya masih harus disehatkan dulu dan belum pemah menerima latihan kemiliteran, apalagi pengalaman menghadapi musuh. Latihan gerakan perorangan bagibekas tentarahanya berlangsungselama satu minggu, bagi pemuda yang belum berpengalaman sebagai militer berlangsung satu bulan. Sedangkan bagi bekas romusha memakan waktu dua bulan. Begitu pula dalam hal latihan pertahanan dan penyerangan.

Walaupun sudah ada beberapa pelatih, ia pun masih turun ke lapangan hampir setiap hari. Latihan gerakan regu dilakukan dengan keras, dilanjutkan dengan latihan gerakan seksi dalamformasi bertahan dan menyerang. Setelah seksi-seksi terbentuk, dilanjutkan dengan latihan manuver kompi, pemindahan pasukan dalam konvoi, dan latihan masuk menerobos hutan. Latihan konsolidasi juga dijalankan. Dalam mengikuti semua latihan itu ia tak kenallelah. la mengenakan sepatu laras tinggi bekas opsirJepang, dan topi petlapangan dengan rumbai-rumbai di bagian belakang. la memang tampak gagah, perawakannya tinggi dan kekar. Sepotong tongkat bambu selalu dipegang selama mengawasi latihan bawahannya. Aba-aba dan perintah diberikan dengan suara lantang, agak berat, dan berwibawa.

Ia selalu berada di tengah-tengah bawahan dan barisan. Ia menegur dan memperbaiki gerakan dan cara siapa saja yang tidak atau kurang benar. Terkadang jika ada anggota pasukan yang sering salah rnelakukan gerakan, ia lantas marah dan berseru: "Badegong!" sambil rnemukulkan tongkat bambunya pada pohon di dekatnya. Mungkin ucapan dan cara itu untuk mengganti umpatan Jepang yang kasar "bakero!" yang berarti kurang ajar atau bodoh. Umpatan kasar Jepang itu sebenamya masih memasyarakat waktu itu, seperti juga umpatan ''baka!" yang berarti goblok. Tetapi ia tak pernah mengucapkan umpatan gaya Jepang yang kasar itu, karena sadar dirinya seorang perwira yang harus menjadi teladan dalam ucapan dan perilaku. Hal ini sesuai pula dengan agama yang,dipegangnya dengan teguh. Dalam kehidupan sehari-hari ia selalu berdoa sebelum makan, dan setiap hari Minggu mewajibkan diri pergi ke gereja.

*

Dalam latihan perang pernah juga dilakukan penembakan dengan peluru, walaupun secara hemat sekali. Temyata peluru-peluru hasil selaman dari Sungai Siak banyak yang melempem karena lembab. Karena itu dilakukan penjemuran di bawah terik rnatahari sampai berhari-hari larnanya. Untuk rnempercepat penjemuran perlu digongseng dengan pasir. Mula-mula pasir digongseng dalam kuali sampai panas, kernudian peluru-peluru diletakkan rata pada tanah yang datar. 

Bangku ditaruh di atasnya, lalu pasir yang telah panas disiramkan pada hamparan peluru itu. Pemah terjadi, karena pasir yang disiramkan terlalu panas, peluru-peluru itu berletusan. Penyiram yang berdiri di atas bangku tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah sambil berdiri tegak di atas permukaan bangku. Kalau dia meloncat turun pasti terkena sambaran letusan peluru. Setelah rentetan letusan berhenti barulah ia berani turun dari bangku, dengan kaki yang sudah penuh luka bakar karena cipratan pasir panas.

*

Di antara wilayah Riau yang paling rawan pertempuran ialah di perairan pantai, yaitu hila kapal-kapal patroli Belanda mondar-mand untuk melakukan blokade atau melakukan provokasi di kuala Sungaf Siak, kuala Sungai Indragiri, kuala Sungai Kampar, perairan pantaf Bengkahs, pantai Selat Panjang, dan pantai Bagan Siapi-api. NamuiJ demikian kapal-kapal patroli itu tidak berani mendarat. Paling-paling hanya menangkapi perahu motor atau perahu layar pedagang yan& hilir-mudik ke Singapura. Belanda tahu bahwa perahu-perahu itu melakukan kegiatan perdagangan guna memasok barang logistik bagi pasukan kita di daerah Riau dan Sumatera Barat. Terkadang kapal kapal patroli musuh itu menembaki kubu pertahanan kita. Bila mereka sudah berada dalam jarak jangkauan tembak, balasan tembakan pun dilepaskan oleh pasukan penjaga pantai kita.

Lain halnya dengan kota Padang. Konon, ketika pasukan Sekutu mendarat di Padang, serdadu-serdadu Belanda turut membonceng: Setelah Sekutu menyelesaikan tugasnya dan meninggalkan kota, serdadu-serdadu Belanda masih tetap bercokol di sana. Dengan segala cara mereka berusaha agar tetap berkuasa sebagaipenjajah. Tentu saj timbul bentrokan dengan pemuda dan pasukan kita yang tidak sudi lagi hidup sebagai rakyat jajahan. Pertikaian dan bentrokan meningkat menjadi pertempuran. ·

Divisi IX Banteng menyusun pertahanan sekeliling kota dengan pembagian sektor-sektoryang strategis, dinamakan Front Padang. Dari daerah garis depan ini diatur serangan dari segala jurusan ke dalam . kota, dan juga disusun kubu-kubu pertahanan manakala serdadu serdadu Belanda menerobos ke luar kota. I Sektor-sektor ini diperkuat dengan pasukan tempur yang didatangkan secara bergantian, seperti dari Bukit Tinggi, Solok, dan Pariaman, bahkan dari satuan Resimen IV Riau sebagai salah satu resirnen di bawah Divisi IX Banteng.

Guna memperkuat Front Padang, khususnya di Sektor Kuranj~ Resirnen IV Riau mengirimkan balabantuan dari Batalyon Pandjaitan. Pertama kali Seksi Mohammad Amin dari Kompi I Abdul Muis sebanyak 62 orangberangkatpada kuartal kedua tahun 1946. Pasukan 30 ini bertugas selama tiga bulan, dan kembali ke pangkalannya di Tengkareng dalarn bulan Agustus. Tugas ternpur yang dilakukan di Front Padang dinilai sangat berhasil, baik dalarn bertahan maupun menyerang. Komandan Seksi Letnan Dua Mohammad Arnin disanjung oleh rakyat setempat sehingga mendapat s.ebutan Harimau Kampar. Pimpinan Resirnen IV menaikkan pangkatnya menjadi Letnan Satu. Selanjutnya dikirim lagi sebuah seksi dari Batalyon Pandjaitan sebanyak 60 orang di bawah pirnpinan Letnan Dua Abdul Rahman. Seksi ini berangkat dalarn bulan Agustus 1946, dan kembali ke Pekan Baru tiga bulan kemudian.

Karena makin banyak terjadi pertempuran di berbagai daerah di Indonesia, dapat diperkirakan bahwa mungkin saja pasukan Belanda akan menduduki Pekan Baru. Lapangan terbang Simpang Tiga tentu menjadi sasaran utama serangan musuh. Agar sewaktu-waktu dapat menangkis serangan musuh, Mayor Pandjaitan menyusun rencana pertahanan lapangan terbang itu. Pertarna-tama ditempatkan satu seksi pertahanan lapangan, yaitu Seksi lstimewa Abdul Rahman. Selanjutnya, di sekitar lapangan terbang ditancapkan ribuan bambu runcing dengan ujung mencongak ke atas, yang diharapkan dapatmelukai atau paling tidak menghambat pasukan payung musuh yang hendak mendarat. Sepanjang jalur pendaratan pesawat ditempatkan mesin mesin giling dan bekas-bekas kendaraan truk yang diatur malang melintang.


Perkiraan akan datangnya serangan musuh dari udara itu diperkuat dengan kegiatan yang mulai dilakukan oleh pesawat-pesawat terbang Belanda dan lnggris, yang setiap hari melayang-layang tinggi di atas lapangan terbang Simpang Tiga. Ketika Seksi Abdul Rahman ditugaskan ke Front Padang, Mayor Pandjaitan menyusun pasukan pengganti terdiri dari 20 orang dibawah pimpinan Sersan Mu . Pasukan ini dilatih khusus selama seminggu untuk menghadapi penerjunan pasukan payung musuh. ..

klik bersambung ........