ebook 5-2, Temanten Baru dimasa Perang

Pagi-pagi pada hari perkawinan tanggal 3 September 1946, keluarga Pandjaitan tiba di Tambunan. Rombongan dari Lumbantor itu beriring iringan membawa jualan sumpit Pandan Besar berisi nasi dan lauk daging, di atasnya diselempangkan ulos. Calon suami saya meengenakan pakaian te manten, berupa setelan jas. Saya mengenakan pakaian adat. Di depan rumah keluarga saya sudah menunggu. Tamu-tamu yang diundang juga sudah hadir. Saya siap di dalam rumah. Keluarga saya menerima jual tepat di depan rumah. Selanjutnya dilakukan penyematan bunga perkawinan. Saya dan temanten pria dipersilakan berdiri berdampingan, tetapi tangan belum bergandengan sebelum diberkati nanti. Semua anggota keluarga memanjatkan doa. Selanjutnya kami semua berangkat bersama-sama ke Gereja Tambunan. Di gereja kami temanten berdua duduk berdampingan di depan altar. Suasana hening, sampai pada suatu saat kami dipersilakan masuk ke dalam ruangan kantor gereja, disertai oleh saksi-saksi dari kedua belah pihak, untuk menandatangani naskah perkawinan.

Sekembali di depan altar suasana makin hening. Pendeta masuk, mengambil tempat di depan altar, berhadapan dengan kami. Petugas petugas gereja masuk pula. Acara kebaktian pun dimulai, khidmat dan mengharukan. Selepas kebaktian kami temanten berdua diminta berdiri dan maju ke depan Pendeta. Pertanyaan diajukan kepada kami masing-masing apakah bersedia menjadi suami dan isteri selama lamanya dengan memenuhi semua persyaratan. Temanten pria menjawab: "Ya, setuju." Saya juga menjawab demikian. Kami berdua diminta berhadapan; tangan kanan kami dipersatukan, dan tangan kanan Pendeta bertumpu di atasnya. Dengan suara tenang dan jelas, Pendeta mengucapkan kalimat pengukuhan perkawinan. Kami berdua berdampingan bersujud di depan altar, dan Pendeta memberkati dengan menaruhkan telapak tangan di atas kepala kami -- tangan kanan pada kepala saya, tangan kin pada kepala Pandjaitan. Terdengar suara Pendeta yang mengharukan: ''Berkat Tuhan."

Kami menerima Kitab Suci Injil, kemudian bersalaman dengan Pendeta. Suasana menjadi penuh senyum dan hangat begitu upacara pemberian ucapan selamat dimulai. Dengan didampingi keluarga terdekat, kami menerima ucapan selamat dan jabatan tangan dari hadirin dan para jemaat. Kami berfoto pula. lring-iringan temanten meninggalkan gereja menuju rumah saya. Pesta adat dan makan bersama berlangsung mengesankan sekali. Keluarga Pandjaitan menyerahkan sinamot, uang antaran, kepada keluarga saya. Dalam pada itu keluarga saya memberikan kain ulos kepada keluarga Pandjaitan.

Acara kesenian adat Batak menyusul meramaikan hari itu, berupa margondang dan manortor. Wajah keluarga dan para undangan tampak berseri-seri. Hari itu juga kami berangkat menuju rumah keluarga Pandjaitan di Lumbantor. Kami membawa jual, yaitu sumpit besar dari pandan berisi beras dan lauk ikan, yang akan kami serahkan kepada keluarga suami saya .
Di rumah keluarga Pandjaitan sudah disiapkan pesta adat untuk menerima menantu. Pukul 19.00 diadakanlah upacara tepung tawar, mangupa parumaen. Kami makan bersama-sama, dilanjutkan dengan pesta kesenian, margondang. Semua yang hadir bergiliran menari, didahului orang tua dan kami mempelai berdua.

Tiga hari lamanya kami tinggal di Lumbantor sebagai temanten baru. Pada hari keempat kami kembali ke Tarutung untuk menginap semalam, dan paginya melanjutkan perjalanan ke Pekan Baru, tempat tugas suami saya. Bersama kami berdua ikut pula ajudan, Letnan Haro Rajagukguk, saudara sepupu Domitian Pandjaitan, dan supir bermarga Hutagalung. Malam itu tanggal 7 September kami tiba di BukitTinggi dan menginap di Hotel Merdeka. Di tengah suasana itu suami saya rupanya tidak sabar untuk mendapatkan laporan dari Pekan Baru mengenai keadaan batalyonnya dan keadaan keamanan pada umumnya. la cepat menelepon markas batalyonnya. Kabar penting diterimanya, yaitu tertembaknya pesawat terbang Belanda lima hari sebelumnya di lapangan terbang Simpang Tiga. Pasukan pertahanan lapangan terbang dari Batalyon Pandjaitan yang dipimpin Sersan Munap berhasil menembak pesawat musuh itu.

Meskipun suami saya merasa gembira atas hasil penembakan, namun hatinya gelisah sekali karena ingin segera berada di Pekan Baru dan mendengar langsung laporan berita yang membanggakan itu. Kebetulan padasaat itu kami mendapat kunjunganTorpedo Pandjaitan, mantan ajudan suami saya, yang telah diizinkan masuk Sekolah Kadet Polisi di Bukit Tinggi, beserta siswa Sekolah Kadet Polisi bermarga Situmorang. Berita dari Pekan Baru yang menggembirakan itu kami rasakan bersama. Esok paginya kami bergegas bertolak ke Pekan Baru. Suami saya ingin cepat-cepat tiba disana. Untung sopir Hutagalung sangat cekatan mengemudikan mobil. Ia pernah bekerja sebagai pegawai Ambachtschool, Sekolah Pertukangan, di Laguboti, dan menguasai seluk-beluk mesin. Suami saya memerintahkan agar mobil langsung menuju lapangan terbang Simpang Tiga.
*
Lewat tengah hari kami tiba di Simpang Tiga. Sersan Munap menyambut komandan batalyonnya, lalu menyampaikan laporan tentang penembakan terhadap pesawat Belanda yang masih tergeletak rusak di atas landasan. Suami saya memeriksa pesawat pembom tempur Mitchell B-25 yang lumpuh dan terpuruk, tubuhnya berlubang lubang bekas tembakan pasukan pertahanan lapangan kita. Dilaporkan, delapan awak pesawat berkulit putih termasuk pilot tewas, hanya seorang awak orang Ambon yang masih hidup. Pesawat itu membawa bom dan roket, dan dilengkapi dengan 13 pucuk senapan mesin kaliber 12,7. Ketiga belas 12,7 itu sudah dibongkar dari sayap dan badan pesawat oleh prajurit-prajurit kita.

Sersan Munap melaporkan bahwa senjata-senjata genggam  milik awak pesawat, serta barang-barang muatan pesawat berupa pakaian  militer, kelambu, beberapa peti rokok dan peluru sudah berada di markas Resimen IV.

Tentang hancurnya pesawat musuh tanggal 2 September 1946 itu dilaporkan bahwa pembom B-25 mula-mula terbang berkeliling sambil merendah. Ada kepala muncul dari jendela cockpit lalu meninjau ke bawah, mengawasi landasan. Sementara itu pasukan Munap siap-siaga di balik semak-semak. Setelah pesawat itu makin merendah, Munap memberi aba-aba: "Tembak!" Seketika itu juga terdengar rentetan bunyi tembakan. Pesawat musuh tampaknya akan mendarat, dan tembakan dari bawah makin gencar. Pesawat mulai mendarat di landasan, dan dengan sendirinya menabrak mesin giling yang sengaja ditaruh di situ. Laju pesawat terhenti seketika. Semua prajurit kita menyerbu ke arah pesawat sambil menghujani dengan peluru. Seorang awak pesawat mencoba keluar dari pintu, tapi segera tertembak dan jatuh tewas. Beberapa saat lagi dua orang serdadu kulit putih keluar dari pesawat sambil mengangkat tangan, namun segera jatuh terguling terkena tembakan dan tewas pula. Prajurit-prajurit kita mendekati pesawat, dan melalui pintu pesawat yang sudah terbuka sebuah granat dilemparkan ke dalam pesawat.

Temyata masih ada seorang serdadu yang hidup. Ia orang Ambon dan mengaku bertugas sebagai operator radio. Kata serdadu itu, pesawat bertolak dari Australia hendak menuju Medan. Sersan Munap mengulangi laporannya, semua barang yang ada dalam pesawat seperti senjata, pakaian, kelambu, rokok dan beberapa peti peluru, bahkan pamflet propaganda musuh, sudah diserahkan ke Resi men IV.

Kata suami saya, senjata-senjata beserta peluru dan barang-barang dari pesawat musuh yang ditembak hancur di wilayah pertahanan Batalyon I, seharusnya tidak langsung diserahkan ke Resimen. Mengingat pentingnya pertahanan lapangan terbang SimpangTiga dan kota Pekan Baru yang menjadi tanggung jawab Batalyon I, maka semestinyalah senjata-senjata dari pesawat musuh itu menjadi hak Batalyon I. Betapa pentingnya arti strategis Simpang Tiga, terbukti bahwa keesokan harinya diintai lagi oleh pesawat musuh. Setelah tembakan beruntun dilepaskan dari bawah, barulah pesawat itu lari ke arah timur. Suami saya sebagai Komandan Batalyon I yang bertanggung jawab atas pertahanan wilayah itu memutuskan untuk memperkuat pertahanan SimpangTiga, dengan memperbanyak jumlah pasukan menjadi satu seksi yang mengandalkan 6 pucuk senapan mesin kaliber 12,7.

Hari berikutnya suami saya disertai Kapten Abdul Muis, Komandan Kompi Bataiyon I,  menemui Komandan Resimen IV untuk menjelaskan perlunya memperkuat pertahanan lapangan terbang Simpang Tiga khususnya dan kota Pekan Baru umurnnya, dengan menambah jumlah senjata sehingga memadai. Karena itu wajar hila senjata dari pesawat musuh yang ditembak oieh satuan dari Batalyon I digunakan untuk memperkuat persenjataan Batalyon l. Mendengar aiasan yang tepat itu, Kornandan Resi men IV  memutuskan supaya senjata dan barang-barang periengkapan militer dari pesawat musuh itu diserahkan kepada Batalyon 1.

Dari 13 pucuk senapan mesin 12,7, empat pucuk di antaranya diserahkan kembali kepada Resimen IV agar digunakan oleh bataiyon-batalyon lain yang bertugas di Bengkalis dan lnderagiri, karena kedua kota pantai itu sering diintai oleh kapal-kapal patroli Belanda. Suami saya  mengusuikan kepada Resimen IV agar prajurit-prajurit yang berhasil menembak pesawat terbang musuh dinaikkan pangkatnya. Usul itu disetujui oieh Komandan Resimen IV, Komandan Divisi IX, dan Panglima Komandemen Sumatera. Sersan Munap dmaikkan pangkatnya dua tingkat menjadi Letnan Muda, dan seluruh anggota pasukannya dinaikkan satu tingkat. Kenaikan pangkat luar biasa ini ada juga buntutnya. Anggota pasukan bertanya tanya mengapa sersan Munap dinaikkan pangkatnya sampai dua tingkat. Padahal, menurut mereka, waktu itu ia tidak memegang senapan, meiainkan pistol. Artinya, bukan ia yang menembak pesawat. Tetapi Munap menjawab, ia sudah mengambil alih senapan dari seoranganggota pasukannya, lalu berhasil menembak pesawat itu.

Melihatsuasana dalam pasukan yang bisa menimbulkan keretakan, suami saya mengambil keputusan untuk memindahkan Letnan Munap dari Batalyon I ke Markas Resimen IV. Kebijaksanaan suami saya tersebut membuat tenang anggota-anggota pasukan pertahanan Iapangan terbang Simpang Tiga, dan bersatu padu seperti sediakala.
---------- 000---------