eBook 6-2 Saya ingin mati sebagai Jenderal


Suasana khidmat dan bahagia Hari Nata125 Desember 1947 berlanjut terus untuk menyambut datangnya tahun baru 1 Januari 1948. Bagi penganut agama Kristen Protestan dari HKBP, hari pertama tahun baru n1erupakan perayaan paling besar dalam setahun. Ketika keluarga kami sedang bersiap-siap hendak pergi ke gereja untuk mengikuti acara kebaktian, dan bertemu dengan sanak kerabat serta ternan-ternan untuk saling mengucapkan selamat, tiba-tiba suami saya menerima laporan dari Letnan Sukotjo, komandan pangkalan udara Simpang Tiga, bahwapada hari itu sebuah pesawatterbang yang ditumpangi Perdana Menteri Amir Syarifuddin akan mendarat di Sin1pang Tiga. Suami saya cepat memutuskan bahwa pengamanan lapangan terbang Simpang Tiga yang berada di wilayah tanggung jawabnya harus cepat dilakukan.

Acara tahun baru keluarga kami tiba-tiba batal, karena suami saya segera meloncat ke dalam jeep dan memacunya menuju rumah Komandan Resimen IV.

Kedatangan kepala stafnya secara tiba-tiba di hari tahun baru itu membuat Letnan Kolonel Hassan Basri terkejut, lalu tergopoh-gopoh turun tangga menyambutnya.

Setelah mengucapkan selamat tahun baru, suami saya menyarnpaikan laporan tentang rencana pendaratan pesawat terbang yang membawa Perdana Menteri ArnirSyarifuddin, dan saat itujuga dirrnya hendak rnenyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pengamanan pendaratan di Simpang Tiga. Letnan Kolonel Hassan Basri sernpat bertanya, apakah tidak berkeberatan rnenjalankan tugas dihari besar itu. Suamisaya menjawab dengan segera: "Tahun baru adalah tahun baru, tetapi tugas di atas segala-galanya. Sebagai prajurit saya lapor, dan suatu saat saya ingin mati sebagai jenderal." Suami saya berangkat lebih dulu; Letnan Kolonel Hassan Basri akan menyusul.
Sementara itu Residen Riau sudah diberi tahu juga mengenai rencana kedatangan pesawat terbang di Simpang Tiga. Atas prakarsanya rakyat Pekan Baru dikerahkan untuk menyambut kedatangan rombongan pemerintah pusat.

Sebenamya pesawat itu akan mendarat di Bukit Tinggi, karena Perdana Menteri Amir Syarifuddin hendak menemui Wakil Presiden Mohammad Hatta yang sedang berada di kota itu. Masalah yang hendak dilaporkan kepada Wakil Presiden, katanya, mengenai perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda yang tengah berlangsung di atas kapal Renville. Tetapi cuaca yang menyelubungi kota Bukit Tinggi dan sekitamya sangat buruk, sehingga pendaratan harus dialihkan ke Pekan Baru. Komandan pangkalan udara Simpang Tiga, Letnan Sukotjo, yang dihubungi dari udara mengenai pennintaan hendak mendarat, segera menjawab kesediaannya. Itulah sebabnya Letnan Sukotjo cepat-cepat melapor kepada suami saya.

Tiba di Simpang Tiga, suami saya segera memerintahkan agar landasan dibersihkan dari truk-truk rongsokan dan buldozer bobrok yangsemulasengaja ditaruh di sepanjang landasan sebagaipenghalang pendaratan pesawat terbang musuh. Komandan Resimen IV tiba pula. Tak lama kemudian tampak pesa\vat terbang melayang di udara, berputar mengitari udara di atas Simpang Tiga, lalu merendah dan mendarat dengan sempurna. Pintu pesawat terbuka; tampaklah Perdana Menteri Amir Syarifuddin menuruni tangga pesawat, diikuti 49 Sutan Syahrir dan H. Agus Salim. Atas permintaan Residen Riau, rombongan pemerintah pusat itu dipersilakan berkunjung ke ko Ribuan penduduk Pekan Baru sudah menunggu berjejal-jejal halaman dan jalan di depan rumah Residen. Amir Syarifuddin d H. Agus Salim mengucapkan pidato.

Lewat tengah hari rombongan pemerintah pusat kembali ke Simpang Tiga. Baling-baling pesawat mulai berputar, dan heber saat kemudian pesawat mulai meluncur di atas landasan selanjutnya terbang rnenuju Bukit Tinggi.
*
Sepucuk surat panggilan dari Divisi IX kepada suami saya yang ditandatangani oleh Komandan Divisi IX Kolonei Ismail Lengah tiba di markas Resimen IV dalam bulan Agustus 1948. Komandan Resimen IV Letnan Kolonel Hassan Basri setelah membaca dan berusaha mernahami isi surat itu lantas bertanya-tanya dalam hati, mengapa dalam surat panggilan itu tidak disebutkan maksud dan tujuannya? Suratyang meragukan itu dibahas bersama dengan semua anggotaStaf. Ketika itu, kata orang, hubungan antara Divisi IX dan Resimen IV memang kurang serasi. Resimen IV boleh dikata mampu mencukupi kebutuhan logistiknya sendiri, tanpa bantuan dari eselon yang Iebih tinggi. Resimen IV berhasil melakukan perdagangan barter dengan daerah Tapanuli dan Sibolga, bahkan dengan Singapura melalui penyelundup yangmenerobos blokade Belanda. Hasil usaha itu dapat melengkapi persenjataan dan mesiu, bahkan berhasil memiliki sebuah meriam yang berkali-kali mampu mengusir kapal-kapal patroli Belanda yang hendak menyerang pantai Kuala Sungai Siak. Meriam itu benarbenar dapat mengamankan wilayah perairan tersebut. Karena itu pasokan barang-barang logistik, termasuk pakalan militer, dari Singapura lewat Kuala Sungai Siak selalu terjarnin. Usaha barter sehingga dapat memperoleh sepucuk meriam itu tidak terlepas dari hubungan baik antara suamisaya dengan pimpinan Resimen diSibolga dan Balige.

Dalam pada itu Resimen IV pun memberikan bantuan logistik kepada Divisi IX. Narnun permintaan bantuan dari Divisi IX tentu saja 50 tidak dapat dipenuhi sernua. Hal itu cukup rnenirnbulkan ketegangan yang terus menerus.

Setelah mernbahas tuntas isi surat panggilan dari Divisi IX, Letnan Kolonel Hassan Basri semula tidak mengizinkan suamisaya berangkat ke BukitTinggi. Panggilan dinas itu tidak jelas maksudnya, demikian jugaalasannya, sehingga panggilan itu meragukan. Namun suamisaya meminta agar panggilan dari Divisi IX kepada dirinya itu dipenuhi. Seorang perwira harus berani menjalankan tugas, dan mampu menghadapi semua persoalan, agar segala sesuatunya menjadi jelas. Atas keteguhan hati Kepala Stafnya, Komandan Resimen IV akhirnya mengeluarkan surat perintah.
Benarjuga dugaan Letnan Kolonel Hassan Basri. Sesampai di Bukit Tinggi suami saya tidak diperternukan dengan Panglirna Divisi IX, tetapi langsung ditahan oleh PT (Polisi Tentara). Penahanan itu langsung diikuti dengan keputusan Panglima Divisi IX yang mengangkat Mayor Toha Hanafi rnenggantikan suarni saya tanpa berbicara dan berrnusyawarah dulu dengan Komandan Resimen IV. Dari tahanan suarni saya berhasil rnenulis surat kepada Letnan Kolonel Hassan Basri, dengan menjelaskan kejadian yang dialaminya. Surat itu menyarankan agar Komandan Resimen IV segera berangkat ke Bukit Tinggi, selanjutnya supaya langsung menemui Letnan Kolonel Abdul Halim, Staf Divisi IX, untuk mendapatkan penjelasan.

Beberapa hari kemudian penahanan terhadap suami saya diubah menjadi penahanan dalam kota, bahkan diizinkan menjemput keluarga untuk pindah ke Bukit Tinggi.

Letnan Kolonel Hassan Basri bertolak pula ke Bukit Tinggi, karena penjelasan yang diterima lagi dari suami saya menyebutkan bahwa sasaran utama penahanan adalah Kornandan Resimen IV, karena tidak menyetujui bantuan logistik dan perlengkapan yang sangat besar kepada Divisi IX. Bantuanyang begitubesartidak mungkin dapat terpenuhi. Narnun sasaran pertama ditujukan dulu terhadap Kepala Staf Resimen IV - sebagai percobaan, karena Letnan Kolonel Hassan Basri ~erupakan tokoh yang sangat berpengaruh di daE!rah Riau. Dalam pemeriksaan, suamisaya diarahkan agar memojokkan Letnani<olonel Hassan Basri disertai tuduhan korupsi. Suami saya tetap tidak mau mengingkari kenyataan yang ada dalarn tubuh Resirnen IV, yaitu bertujuanr memperkuat pasukan untuk rnenghadapi bahaya dari musuhi.

Sesampai di Bukit Tinggi, Komandan Resimen IV tidak menemui Panglima Divisi IX, juga tidak menernui Letnan Kolonel Abdul Halini sebagaimana disarankan oleh suami saya, tetapi langsung menemui · Jaksa Agung Muda Jenderal Mayor (Tituler) Mr. Rufinus Lumban Tobing di Hotel Merdeka. 


Dalam pertemuan itu Jaksa Agung Muda segera rnenghadapkan· Letnan Kolonel Hassan Basri pada W akil Presiden Mohammad Hatta di Istana Tamu Agung Bukit Tinggi. Setelah rnenelaah semua persoalan dari semua segi, Wakil Presiden rnemerintahkan kepada Jaksa Agung Muda agar OJ Pandjaitan, suami saya, segera dibebaskan. Selain itu Kolonellsmail Lengah dan Mayor Jenderal Suhardjo dipindahkan ke Jawa. Selanjutnya Wakil Presiden 1nemutuskan agar suami saya dipindahkan ke Komandernen Sumatera, dan penempatannya akan diatur oleh Panglima Sumatera yang baru, Kolonel Hidayat. Kepada Komandan Resimen IV diminta oleh Wakil Presiden agar dapat menerirna seorang Perwira dari Divisi Siliwangi sebagai pengganti suarni saya pada jabatan Kepala Staf. Dengan demikian prajurit dan perwira TNI dapat ditempatkan dan ditugaskan di mana pun. TNI adalah tentara nasional, karena itu harus dapat berjuang dan mengabdi bangsa di mana saja di seluruh tanah air. Demikian penegasan Bung Hatta.

Atas panggilan Wakil Presiden, Panglima Sumatera yang baru, Kolonel Hidayat, tiba puladi Istana Tamu Agung. Pembicaraan diadakan untuk menelaah semua kejadian dan penyebabnya guna memperoleh keputusan yang tepat. Pertemuan dilanjutkan keesokan harinya.
Dalarn pertemuan lanjutanyang berlangsungdi Asrama TNI Birugo, Kolonel Hidayatmenawarkan nama-nama perwira dari Oivisi Siliwangi yang dapat dipilih untuk menggantikan Mayor Toha Hanafi sebagai Kepala Staf. Letnan Kolonel Hassan Basri rnernilih Mayor Akil Prawiradiredja rnenjadi Kepala Staf Sub Tentorial V Riau. Dalam reorganisasi sebelurnnya Resimen IV Riau diubah menjadi Resinlen Sub Teritorial V Riau.

Pada akhir pertemuan itu, Wakil Presiden Hatta memutuskan agar suami saya dibebaskan dari tahanan kota karena tidak terbukti melakukan sesuatu tindakan yang melanggar hukum. Panglima Komando Tentara dan Teritorial Sumatera (TTS) Kolonel Hidayat bahkan mengangkat suami saya n1enjadi Kepala Bagian IV/Suplai Komando TTS, yang disetujui sepenuhnya oleh Bung Hatta. Keputusan tersebut membuktikan bahwa Wakil Presiden Hatta dapat meneliti persoalan secara cermat dan tepat, dan dapat mengambil tindakan secara adil dan benar demi kepentingan negara. Dalam pada itu suamisaya terbukti pula telah berani tampil menjemihkan persoalan dengan tanggung jawab sesuai dengan tugasnya.

Pertemuan itu juga memutuskan, Divisi IX dibubarkan dan dijadikan Sub Teritorial IV/Sumatera Barat.

Selama tinggaldi BukitTinggi keluarga kami mendapatkan karunia Tuhan, yaitu lahimya puteri kedua pada tanggal 6 September 1948. Saya melahirkan di rumah tumpangan, yang pemah ditinggali oleh Letnan Jamhir Jamin, Kepala Polisi Tentara. Persalinan ditolong oleh bidan, karena dokter masih langka waktu itu.
Suami saya memberi nama anak kedua ini dengan sekalian mengabadikan fitnahan yang diterimanya, yang mengakibatkan penahanan atau arrest. Dengan kebenaran yang sudah terbukti, bahwa dirinya tidak bersalah, maka anak kedua kami diberinya nama Masa Arestina.
Di rumah adat inllah suami saya lahir pada tanggal 9 Juni 1925 dinlhari, disambut oleh kokok ayam jantan.
(Foto kaml setelah menikah tahun 1946.)

Di depan rumah dlnas, Pekanbaru, 1947. Saya tengah mengandung Katherine. Musa Pandjaitan, ipar saya, berdirl paling kanan.


klik ke daftar isi