eBook 7-2 Merancang penyeludupan senjata

*
Malam itu kira-kira pukul l9.00semua anggota stafdan pasukan sudal berada di Mandiangin. Limabuah tenda sudah terpasang, dan beberapi truk juga tersedia. Lampu petromax sudah dinyalakan. 
Pasukan disiapkan untuk melakukan apel, dipirnpin oleh suam saya. Letnan Kolonel M.M.R. Kartakusuma yang menerima ape memberikan perintah singkat: "Semua anggota pasukan, tidak adc kecuali, mempersiapkan fisik dan mental untuk melakukan peran~ gerilya melawan tentara Belanda."
Semua anggota malamitu makan bersama. Tambahan perlengkapar dibagi-bagikan. Dalam sebuah kemah, semua perwira stafdan komandan pasukar menerirna instruksi dari Kolonel Hidayat.
Tepat pukul 20.00 dengan tongkat di tangan ki,ri suami saya memberikan instruksi kepada semua anggota: "Semua menaiki kendaraan. lkuti saya dan rute saya."

lring-iringan kendaraan mulai bergerak malam itu juga menuju Palupuh, kemudian bergerak lagi menuju Bonjol untuk menginap. Pagi harinya, tanggal 20 Desember 1948, pukul 08.00 Bonjol diserang oleh pesawat-pesawat Mustang Belanda. Roket dihamburkan dari udara, namun tidak menimbulkan korban di pihak kita karena sudab memilih tempat yang terlindung.

Pagi itu Panglima Hidayat membentuk dua satuan, yaitu Pasukan Operatif dan Pasukan Teritorial. Di bawah pohon rindang siang itu pukul14.00 diadakan apel siang pasukan operatif. Pasukan ini diberi nama Pasukan Rimba Raya, di bawah pimpinan Kapten Johan, sedangkan Kapten Abdul Bar Salim menjadi wakil komandan. Pimpinan pasukan ini dikemudian hari disegani oleh kalangan masyarakat Bukit Tinggi karena terkenal berani, dan tindakan tindakannya sangat simpatik.

Setelah diberi pengarahan oleh Panglima Hidayat, pasukan operatif ini diperintahkan berangkat kembali ke Palupuh. Tugasnya menghadang pasukan Belanda jika mencoba mengejar Komando Sumatera. Memang telah diterima laporan, setelah menduduki Bukit Tinggi pasukan Belanda berusaha mengejar Komando Sumatera yang telah bergerak menuju arah Lubuk Sikaping dan Rao. Cegatan Pasukan Rimba Raya berhasil menghentikan gerakan tentara Belanda, bahkan memaksa mereka mundur ke Bukit Tinggi. Seterusnya Palupuh dijadikan pangkalan untuk menyerang dan mengacau tentara Belanda yang berkubu di Bukit Tinggi. Belanda pun berkali-kali hendak mengusir pasukan kita yang berpangkalan di Palupuh, tetapi tidak berhasil. Walaupun mereka dibantu dengan serangan dari udara, namun tetap tidak sanggup menembus pertahanan kita. Bahkan sampai menjelang penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia, Palupuh belum terinjak oleh kaki Belanda, sehingga Lubuk Sikaping dan Rao tak pemah jatuh ke tangan Belanda.
Adapun Pasukan Teritorial dalam apel tanggal20 Desember 1948 siang itu menerima perintah dari suami saya:

"Tadi telah kita saksikan Pasukan Rimba Raya berangkat menuju jurusan BukitTinggi. Tugasnya menghancurkan atau menahan kemajuan tentara musuh yang akan memperlebar sayapnya. Adapun tugas kita sekarang sebagai pasukan yang mobil, bergerak terus, dan memberikan pengertian kepada rakyat tentang tugas bersama untuk melancarkan perang gerilya. Selanjutnya kita mengadakan long march menuju Rao. Kita pasti menang."

Pukul 15.00 hari itu rombongan Komando Sumatera berangkat menuju Rao dengan berjalan. Perjalanan itu setelah menempuh waktu 63 tiga jam dihentikan untuk beristirahat. Menjelang petang perjalanan dilanjutkan. Pada pukul 20.30 barulah rornbongan tiba di Lubuk Sikaping, dan menginap semalam.

Esok harinya pagi-pagi perjalanan dilanjutkan menuju Rao. Setelah berjalan lebih-kurang satu jam, kendaraan-kendaraan yang semula tertinggal di Bonjol telah rnenyusul. Perjalanan dilanjutkan dengan naik kendaraan. Tetapi tak seberapa lama terdengar suara pesawat terbang. Kendaraan-kendaraan berlindung di bawah pohonpohon besar, begitu pula semua anggota rombongan. Di udara sebuah pesawat Mustang Belanda mengawasi alurjalan besar. Ternyata Mustang tidak dapat melihat mobil dan truk-truk yang bersembunyi di bawah pohon-pohon rindang. Pesawat itu lewat saja, sehingga beberapa saat kemudian perjalanan rombongan Komando Sumatera dilanjutkan.
Panglima dan seluruh rombongan tiba di Rao kira-kira pukul 12.15, diterima oleh wali negeri Rao, Bustami, dan pimpinan rnasyarakat setempat. Rumah-rumah disediakan sebagai pondokan, dan dapur umum siap menyediakan makanan. Panglima menempati rumah orang tua Mayor Chairul Basri, seorang tokoh masyarakat yang sangat dihormati di Rao, sedang suami saya beserta stafnya menempati rumah Kepala Dinas Kesehatan Negeri Rao. Perbekalan, terutama candu, dijaga di tempat tersendiri, sedangkan pengamanannya diserahkan kepada Komandan Detasemen, Kapten Christoffel Sihombing.

Apel dilangsungkan pada pukul17.00 sore itu. Suami saya setelah menerima laporan segera mengumumkan :

"Tadi siang saya telah bertukar pikiran dengan Bapak Wali Negeri, Bapak Bustami. Tanpa diminta, beliau mengulurkan tangan membantu kita. Karena itu kita harus memperhatikan: setiap anggota harus menjunjung tinggi adat istiadat di sini, dan selalu bersikap sopan-santun. Ingatlah, di mana bumi dipijak, di situ pulalah Iangit dijunjung. Tempat tinggal kita, sebagai asrama, adalah rumah-rumah rakyat. Hormatilah mereka. Kita adalah anak rakyat dan tentara rakyat."
Di Rao ia sempat menerima berita bahwa saya beserta anak-anak dalam perjalanan menuju Sibolga tanggal 21 Desember malam. Karenanya malam itujuga ia menunggu di tepi jalan, dan menghentikan 64 truk yang saya tumpangi beserta anak-anak dan rombongan Mayor Maraden Panggabean. Saat itu sudah menjelang subuh tanggal 22 Qesember 1948. Kami hanya dapat bertemu sebentar dan menerima petunjuk dari suami saya. Sungguh merupakan pertemuan yang singkat dalam suasana gerilya. Saya dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Sibolga, sedangkan ia kembali ke pos komando.

Pagi hari tanggal 23 Desember setelah sarapan, suami saya dan Mayor Rambe - perwira Siliwangi yang menyertai Kolonel Hidayat dari Jawa ke Sumatera - berbincang-bincang mengenai rencana pembelian dan penyelundupan senjata dari luar negeri, antara lain dari Singapura, India, Jepang dan Filipina. Seraya menelaah peta, Mayor Rambe mengatakan bahwa pemasukan senjata paling aman dilakukan melalui Bagansiapi-api. Tetapi bagaimana kalau Bagansiapi-apisegera diduduki Belanda? Suami saya menyahut, bahwa salah seorang stafnya, Letnan Sumihar Siagian yang berasal dari kota itu, pasti mengetahui liku.-liku jalan, anak-anak sungai, pantai, bahkan perairan di lepas pantai Bagansiapi-api. Pertukaran pikiran selanjutnya diikuti pula oleh Bustami, Wali Negeri.
Hasil pembicaraan itu oleh suami saya langsung disampaikankepada Panglima. Tiga jam lamanya laporan itu dibahas.

Sekembali dari pertemuannya dengan Panglima, suami saya memimpin rapat yang diikuti Letnan SumiharSiagian, Letnan Pieter Simorangkir, Wali Negeri Bustami, dan Sersan Mayor G.G. Simamora. Ia menguraikan hasil pembicaraannya dengan Kolonel Hidayat, lalu memberikan perintah kepada keempat orang yang ada di depannya:

"Kebutuhan kita untuk memperoleh senjata melakukan perang gerilya sudah amat mendesak sekarang. Kita berlima sekarang harus berangkat ke daerah Riau. Mari kita perhatikan peta ini. Persiapkan surat perintah, dan juga perbekalan di jalan."

Bustami menyela: "Saya rnengenal daerah ini. Juga setiap karnpung yang akan kita lalui seperti tampak pada peta. Di.setiap kampung itu ada kerabatsaya. Yakinlah, kita tidak akan rnenjumpaikesulifan selama menernpuh rimba di pedalaman Riau."
Suami saya merasa lega, dan ucapnya: "Sernangat inilah yang kita perlukan dalam menjalankan tugas dan melanjutkan perang semesta.~ . Lalu sambungnya: "Besok pagi-pagi kita berangkat."

*

Mengapa dan bagaimana saya dan anak-anak pada tanggal 21 Desember rnalam pergi rnengungsi ke Sibolga? Hari itu tiba-tiba saja Mayor Maraden Panggabean, tunangan adik saya, Matiur boru Tambunan, muncul di depanrumah. Ketika itu di BukitTinggi dihujani tembakan lagi dari pesawat terbang Belanda, dan saya beserta anakanak dan adik-adik sedang tiarap di bawah meja makan yang dialasi pula dengan kasur sebagai ternpat perlindungan. Kami kaget, namun merasa senang karena dapat saling mernberikan keterangan tentang gentingnya keadaan. Saya pun rnetnberi tahu tentang keberangkatan suarni saya ke rnedan gerilya.

Konon Mayor Panggabean, Mr. A. Abbas, Letnan August Marpaung, dan Letnan Sinta Pohan saat itu berada di Bukit Tinggi setelah bebas dari tawanan pasukan yang tidak mematuhi Re-Ra. Ia sekawan mendatangi Markas Komando Sumatera, tetapi sudah kosong. Hari itu kota sedang diserang terus-menerus oleh musuh dari udara. Menjelang petang, setelah tembakan dari udara reda, tunangan adik saya itu mencari kami ke hotel Tapanuli, dan diberitahu bahwa saya dan anak-anak serta adik-adik sudah pindah. Esok paginya ia rnencari terus, akhirnya setelah bertanya ke sana kemari dapat menemukan kami. Ia kelihatan amat kasihan terhadap saya yang mungkin tamp'ak lemah sehabis rnelahirkan anak, ditambah dengah suasana yang mengerikan akibat pemboman Belanda.
Mayor Panggabean menasihati saya agar tetap berada di Bukit Tinggi, sedangkan dia akan berangkat ke Tapanuli dulu. Setelah berpikir sejenak, saya menyatakan harus ikut ke Tapanuli. Sesaat kemudian datanglah August Marpaung, teman Mayor Panggabean, yang melaporkan bahwa truk pinjaman sudah tersedia. Tapi ternyata tidak ada bensin. Beruntung sekali, suami saya pernah menyediakan bensin darurat sebanyak satu drum. Kami segera naik ke atas truk, duduk di atas bak beralaskan seprei bersama anak dan adik-adik. Pertama-tama truk menuju Hotel Tapanuli, tempat Mayor Panggabean menginap, dan sekalian menjemput Mr. A. Abbas dan lain-lain.

Saatnya sudah tiba untuk berangkat menuju Tapanuli. Truk diengkol, sekali, dua kali, tiga kali, tapi mesin tak mau hidup juga. Letnan August Marpaung dan Letnan Sinta Pohan tak putus asa. Diengkolnya lagi mesin itu, dan .... hiduplah mesin dengan derungnya yang memekakkan telinga.
Setelah kendaraan bergerak maju tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang memanggil-manggil. Temyata ia berlari sambil mengerjar kami. Kendaraan dihentikan, dan dengan terengah-engah orang itu minta kepada Mayor Panggabean agar diperbolehkan ikut mengungsi ke Tapanuli bersama isterinya yang hamil tua. Lelaki itu punya rebewes untuk menyopir truk, dan menyatakan keinginannya agar anaknya nanti lahir didaerah Republik Indonesia yang merdeka, bukan di daerah yang diduduki oleh Belanda.

Mayor Panggabean merasa kasihan sehingga mengizinkan sepasang suami-isteri itu ikut bersama kami. Orang itulah yang selanjutnya memegang kemudi. Mr. Abbas sebenaryajuga punya rebewes, tetapi apakah mampu membawa truk itu menempuh perjalanan jauh, lagi pula terdapat banyak kelokan, tanjakan dan turunan. Di sepanjang jalan tampak orang-orang beriring-iringan membawa barang-barang hendak mengungsi. Sungguh pemandangan yang mengiris hati. Kami tidak tahu bagaimana nasib kami nanti. Tiba-tiba kendaraan kami tidak lancar lajunya, dan akhimya malah mogok. Tetapi supir kami memang mengetahui seluk-beluk mesin, dan dapat memperbaikinya. Perjalanan pun dilanjutkan.

Setelah beberapa lama melewati Palupuh, kendaraan kami dilampaui oleh mobil yang berlari kencang, lalu berhentidi depan kami. Kami dihentikan salah seorang penurnpang mobil itu meminta kepada Mayor Panggabean agar salah seorang anggota keluarganya diperbolehkan ikut dalam kendaraan kami. Orang yang disebut sebagai anggota keluarganya itu sudah tua dan sakit. Ia tidak mau mati di daerah yang nanti akan diduduki musuh, melainkan ingin mati di daerah Republik Indonesia. Saya lihat wajah Mayor Panggabean terharu. Orang sakit itu pun diperbolehkan naik ke dalatn kendaraan kami yang sudah penuh sesak.

Tanpa merasa Ielah karena diantara penumpang ada yang bergurau dan bercanda, perjalanan pun tiba di Kotanopan, dan selanjutnya pada sorehari tiba di Padang Sidempuan. Kami bermalam di rumah Kapten Daulay. Di kota itu kami berpisah dengan Mr. A. Abbas. Ketika pagiharinya kami hendak melanjutkan perjalanan, ternyata truk sudah rusak, tak mungkin berjalan lagi. Untung ketika itu ada mobil miliksebuah keluarga bermarga Pandjaitan yanghendak bertolak menuju Balige. Maka kami pun malam itu menumpang dalam mobil tersebut.

Menjelang Batangtoru lampu mobil padam, sehingga kami terpaksa tidur malam itu di dalam mobil. Baru keesokan harinya, tanggal24 Desember1948, kami dapat meneruskan perjalanan menuju Sibolga.

Di kampung Lopian, kira-kira 25 kilometer menjelang Sibolga, kami berjumpa dengan rombongan pengungsi. Kami bertanya-jawab sejenak. Temyata mereka segera menertawakan kami yang hendak mengungsi ke Sibolga. Rupanya pasukan Belanda telah mendarat di Pandan setelah menyerang dari udara maupun laut. Menghadapi kenyataan seperti itu saya rnenyampaikan saran kepada Mayor Panggabean agar sebaiknya kami semua menginap di Lopian. Saya mempunyi kerabat, yaitu saudara isteri abang Victor Tambunan. Kami segera mencari alamatnya, dan beruntung dapat segera menemuinya. Di rumahnyalah kami menumpang malam itu.

Esok paginya kamidiungsikan ke ladang. Suasananya sunyi namun terasa aman. Di situlah kami tinggal untuk sernentara karena Mayor Panggabean dan rombongannya melanjutkan perjalanan melalui hutan dan mendaki gunung Sibolga. Ia akan menyampaikan berita kepada orang tua saya di sana bahwa saya dan anak-anak berada di Lopian, di rumah keluarga Victor Tambunan. Ayah pun sudah tahu alamatnya.

Tinggal di gubuk kecil di tengah ladang memang terasa sunyi bagi saya. Isteri Victor berpesan supaya kami tidak keluar dari gubuk rnanakala malam sudah turun karena banyak harimau berkeliaran. Api unggun pun dinyalakan untuk mengusir nyamuk dan harimau. Lepas tiga hari kami tinggal di gubuk itu, terasa badan lesu dan sakit. Maka gubuk itu pun kami tinggalkan, dan kembalilah kami ke rumah kerabat kami di Lopian, di tepi jalan. Tetapi sepanjang hari di rumah itu kami bersembunyi, karena tentara Belandasudah menduduki Pandan yang hanya berjarak 12 kilo.meter dari Lopian.

Beberapa hari kemudian datanglah kurir Mayor Panggabean, yang membawa surat dan perbekalan. Kurir itu atas pesan Mayor Panggabean hendak mengawal kami menuju Sibolga melalui hutan dan gunung. Setelah saya pikir-pikir, saya menolak tawaran itu. Beberapa hari kemudian datang pula kurir yang hendak menjemput, namun saya menolak lagi. Meskipun tinggal di tempat kerabat yang baik hati, tetapi setelah enam hari berada di Lopian, rasanya saya merasa tak sabar lagi, apalagi bersama anak kedua yang masih berumur tiga bulan. Badan terasa sakit, sedangkan hati ingin segera tiba di tempat tujuan. Timbul keberanian untuk menerobos pos-pos penjagaan tentara Belanda yang sudah menduduki Pandan.

Kebetulan ada seorang kakek yang sudah berumur enam puluh tahunan bersedia menolong kami mengantar ke Sibolga. Menurut sarannya, kepergian ke sana sebaiknya naik kereta lembu atau pedati. "Jika kita berangkat pukul 6 pagi, akan tiba di Sibolga pukul 6 sore," katanya. Adapun ongkosnya 5 kilogram beras. Baiklah, ongkos itu saya setujui.

Saran kakek itu lagi, kami harus menyamar dengan berpakaian yang buruk, muka agak kotor, dan tingkah laku seperti orang kampung. Pagi-pagi kami berangkat naik pedati tanpa alap. Sampai di perbatasan Pandan, kira-kira seratus meter dari jembatan yang telah rusak terkena born musuh, kami dihentikan oleh beberapa orang serdadu Belanda. Mereka berkulit hitam. Kami semua ditodong dengan bayonet, danbarang-barangkami pun ditusuk-tusuknya. Dengan nada kasar mereka bertanya, ke mana kami hendak pergi. Saya jawab: "Mau mengungsi, takut kena born dan meriam. Kami dengar di Sibolga sudah aman, jadi mau kembali."

"Kenapa tidak sayang sama baby kecil ini dibawa ke mana-mana?" tanya salah seorang serdadu dengan suara kasar. Setelah seisi pedati diperiksa, kami boleh meneruskan perjalanan. Pedati bergerak maj lagi, memasuki jembatan, tetapi tepat di tengah jembatan terpaksar berhenti, karena terdapat lubang menganga akibatledakan born. Tentu saja pedati tak dapat melewatinya. Tiba-tiba datang seorang opsir Belanda. Ia memeriksa seisi pedati. Kami khawatir sekali. Temyata ia bersikap baik, mungkin karena kasihan kepada bayi saya. Kepada serdadu-serdadunya ia menyuruh menaruh papan-papan diatas lubang besar itu, lalu beramai-ramai menarik pedati. Karni pun dapat meneruskan perjalanan.

Setelah berpapasan dengan serdadu-serdadu Belanda sepanjang jalan di Pandan, kira-kira pukul 7 malam kami tiba di Sibolga, langsung rnenuju rumah orang tua. Adik Matiur berseru-seru memanggil Abang Frits Tambunan. Bapak muncul dari dalam rumah, dan kami semua segera berangkulan sambil terisak-isak.

Di dalam rumah saya membisiki Bapak agar tidak membicarakan kedatangan kami ini, apalagi Bapak sangat kagum akan keberanian kami menembus gardu-gardu penjagaan Belanda serta menempuh perjalanan yang berbahaya lagi jauh.


Ompung tukang pedati yang berjasa mengantar kami saya suruh menginap di rumah Bapak. Esok paginya barulah ia pulang, dengan iringan ucapan terima kasih kami. Kepadanya saya beri bekal beras dan keperluan lainnya.

Klik ke daftar isi