(sambungan )
Itulah pantangan bagi setiap pejalan yang melalui puncak Bukit Simalombu. Bukit itu memang merupakan bukit yang tertinggi di antara deretan Bukit Barisan di wilayah itu, dan yang harus dilalui karena merupakan batas antara Sumatera Barat, Tapanuli dan Riau. Jauh di lembah di arah bawah terdengar bunyi desir aliran air sungai. Itulah hulu Sungai Rokan. Rombongan itu pun meneruskan perjalanan sambil melawan hawa dingin. Tak ada yang berbicara satu sama lain. Tiba-tiba Bustami menoleh dan memberi tahu bahwa tidak lama kemudian akan tiba di tempat yang dapatdigunakan untuk beristirahat setelah berjalan selamaenamjam. Benar juga, jalan setapak itu terhenti pada sebuah tanah yang agak lapang, kira-kira seluas lapangan badminton. Rombongan beristirahat, dan matahari pun sudah tampak di atas.
Hanya beberapa meter jaraknya dari tempat beristirahat itu terdapat sumur alami yang terjadi dari batu, yang berisi air kira-kira secupak, atau kira-kira empat liter. Sumur itu dinamakan Sumur Secupak. Bustami menjelaskan, biasanya pejalan yang hendak melepas haus dengan air sumur itu harus menggunakan kedua belah telapak tangannya untuk menciduk, lalu mereguk airya sepuas-puasnya.
Maka Bustami pun mulai meraup air itu dengan kedua belah telapal tangan, lalu meminumnya. Berkali-kali dilakukannya sampai puas Suami saya mengikutinya, minum dengan cara seperti yang dilakukan Bustami, selanjutnya diikuti pula oleh anggota rombongan lainnya.
"Menurut hikayat dan kata orang, walaupun banyak pejalan yang lewat di sini dan minum air dari sumur ini sebanyak-banyaknya, tapi sumur ini tak pemah kering. Sumur selalu penuh. Begitu pula bila terjadi hujan lebat, air sumur tidak pemah melimpah," kata Bustami.
Setelah cukup beristirahat, suami saya bangkit lalu berdiri di atas sebuah batu di tepi tanah yang agak lapang itu. Dari sana ia dapat memandang lembah nun di bawah dan hamparan padang luas. Ia berdiri tegak dan bersikap sempuma, tangan kanannya diangkat lalu membuat penghormatan secara militer. Anggota-anggota rombongan terpukau, namun tidak berani membuka mulut untuk bertanya.
Suami saya turun dari atas batu besar itu sambil berkata: "Okey, tuan-tuan. Mari kita teruskan perjalanan."
Berbeda dari perjalanan sebelumnya, kali ini bukan Bustami yang berjalan paling depan, tetapi suami saya. Bustami di belakangnya, baru anggota rombongan lain di belakang berurutan. Baru beberapa menit berjalan, perjalanan memasuki hutan lagi. Matahari pun tak tampak lagi. Kalau sebelumnya lebih banyak mendaki dan menuju ke arah timur, kali ini menurun dan menuju ke arah utara.
Sersan Mayor G.G. Simamora, anggota rombongan yang paling muda, rupanya masih memendam pertanyaan mengapa suami saya tadi berdiri tegak di atas batu besar dan menyampaikan hormat secara kemiliteran. Kejadian di bukit Simalombu dekat sumur Secupak itu sangat memukaunya. Ia mendekati suami saya dari belakang lalu bertanya seperti berbisik: "Pak Pandjaitan, tadi saya lihat Bapak memberihormat dengan sikap sempurna, padahal yang Bapak hormati tidak kami lihat. Apakah Bapak dapat menjelaskan?"
"Rao terletak di sebelah selatan bukit ini," kata suami saya mulai menjawabdan menjelaskan. "Saya tadi menyampaikan penghormatan kepada Panglima Kolonel Hidayat, juga kepada Kolonel Kartakusuma dan my friend Mayor Tjakradipura, dan lain-lain. Kesetiaan kita ke atas, ke bawah, dan ke samping, dan tidak hanya kita tunjukkan bila sedang berhadapan. Semoga beliau semua berhasil dalam perjuangan, dan kita pun berhasil."
*
Kira-kira pukul 16.00 petang perjalanan mulai mengarah ke timur, dan sejam kemudian tiba di sebuah dusun. Desa Kaiti namanya. Menurut Bustami, dari Kaiti hanya tinggal dua kilometer lagi jaraknya dari Pasir Pangarayan.
Rombongan beristirahat di bawah pohon besar sambil memperhatikan suasana kampung. Tampak rumah-rumah yang berjajar berdekatan. Terdengar suara anak-anak yang berbicara dengan logatnya seperti penduduk Tapanuli dan Mandailing.
Kata Bustami, pada umumnya penduduk Kaiti adalah keturunan pendatang dari Tapanuli Selatan, yang sudah tinggal disitu sejak seabad yang lalu ketika para pengikut Imam Bonjol terusir dari Tapanuli oleh pasukan Belanda. Salah seorang panglimanya, Tuanku Tambusai, mundur ke daerah sekitar Pasir Pangarayan, Oalu-dalu dan Kaiti. Kecamatan Pangarayan sampai kini disebut kecamatan Tambusai.
Karena kewedanan Pasir Pangarayan sudah dekat, perjalanan rombongan dilanjutkan, dan pukul 17.40 tibalah sudah.
Suami saya sudah mengenal daerah ini karena berada di bawah wilayah Kompi 3 Batalyon I. Karena itu begitu memasuki Pasir Pangarayan ia langsung menuju sebuah rumah besar, yaitu rumah Komandan Kompi Letnan Yunan Lubis. Begitu bersua, keduanya berpelukan.
Rombongan masuk ke dalam rumah, diterima dengan hangat oleh isteri Yunan Lubis, Berlian boru Hasibuan. Setelah duduk beristirahat sambil minum-minum, suami saya bertanya, apakah pesawat terbang musuh sering mengintai atau menyerang daerah itu. Mendengar jawaban bahwa daerah itu aman dari serangan udara, ditanyakan lagi mengenai kegiatan perdagangan yang menggunakan jalur Sungai Rokan menuju Bagansiapi-api.
Yunan Lubis memanggil petugas piket dan memerintahkan supaya memanggil para pedagang yang biasa merantau melalui Sungai Rokan.
Seusai makan malam, para pedagang tersebut datang. Mereka diperkenalkan kepada suami saya. Dengan pendekatan yang ramah ia mulai menerangkan perjuangan kita yang selain melakukan perang gerilya juga mencari dana untuk membeli senjata dan perbekalan. Karena itu diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai keadaan genting yang kita hadapi bersama.
Karena menurut Letnan Yunan Lubis para pedagang itu baru tiba dari Bagansiapi-api, suami saya bertanya dan meminta keterangan tentang: pertama, kekuatan pasukan Belanda di Bagansiapi-api dan sekitamya; kedua, kegiatan patroli Belanda; ketiga, semangat juang mereka; keempat, bagaimana cara pengamanan yang sebaik-baiknya kalau kita memesan senjata dari Singapura melalui Bagansiapi-api atau suatu tempat lain yang aman; dan kelima, diperlukan pemasok yang berjiwa Republiken dan bersedia membela kepentingan kitajika iaharus mengambil senjata dari Singapura.
Masing-masing pedagang memberikan keterangan dan saran yang cukup memuaskan. Juga Letnan Sumihar Siagian memberikan sumbangan pikiran yang sangatberguna berdasarkan pengalamannya sebagai pejabat kepolisian di Bagansiapi-api pada tahun 1947.
Esok harinya pukul 9.00 suami saya mengadakan pertemuan lagi, kali ini dengan tokoh dan pemuka masyarakat serta pimpinan pemerintahan setempat. Hadir sekitar 200 orang. Salah seorang di antaranya ialah Suman Hs., orang yang paling berpengaruh di Pasir Pangarayan, dan juga pengarang roman Anak Perawan di Sarang Penyamun. la pun seorang pendidik.
Dalam pertemuan itu suami saya mula-mula menjelaskan serangan yang dilancarkan pasukan Belanda yang berhasil menduduki kota-kota besar, dan penderitaan rakyat sebagai akibat serangan itu sangat menyedihkan. Kalau tentara kita justru mengosongkan kota sehingga kota itu bisa diduduki secara mudah oleh musuh, bukan berarti kita tidak melakukan perlawanan. Persenjataan kita memang kurang memadai, karena itu kita melakukan perjuangan yang paling tepat yaitu melancarkan perang gerilya. Namun demikian, kita harus menambah senjata dan peluru. Ia meminta agar hal tersebut dijelaskan kepada rakyat, agar mereka tidak berkecil hati, bahkan membantu perjuangan dengan cara apa pun.
"Saya datang kemari atas perintah Panglima Sumatera Kolonel Hidayat untuk berusaha mencari senjata," tegasnya. "Sementara upaya itu belum berhasil, kita harus memperkokoh persatuan dan menghindari perpecahan. Bantulah tentara kita dalam melakukan perang gerilya. Selain itu harus giat bercocok tanam agar bahan makanan kita tetap tersedia. Juga kita harus awas dan waspada terhadap mata-mata musuh yang menjalankan siasat adu domba."
Diterangkan pula akibat serangan Belanda terhadap perekonomian kita. Jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota dan menjadi urat nadi lancamya roda perekonomian telah terputus. Kita terpaksa menempuh jalan tikus melaluihutan belantara. Atau harus menggunakan sampan, rakit atau perahu motordari Pasir Pangarayan ke Bagansiapi-api. Walaupun lambat dan tidak lancar, namun kita tidak boleh berputus asa.
Dikemukakan keyakinannya, bahwa pasukan Belanda tidak akan datang menyerang sampai Pangarayan, karena jumlah pasukannya terbatas, apalagi ketahanannya, sedangkan kita mampu berjuang lama karena mendapat dukungan dari rakyat, terutama dukungan makanan dari penduduk desa dan petani. Karena itu kita harus berjuang bersama, dan rakyat hendaknya tetap tenang serta mengikuti petunjuk dari pemerintah maupun dari pimpinan TNI.
Pidato dan penjelasan itu diakhiri dengan seruan selamat berjuang dan pekik perjuangan "Merdeka!" Dalam ramah tamah dengan para pemuka masyarakat setempat itu suami saya sempat melakukan penyelidikan apakah memang masih ada hubungan dagang antara Bagansiapi-api dengan luar negeri, khususnya dengan Singapura. Ia memesan rokok buatan luar negeri kepada Suman Hs. Temyata pesanan barang buatan luar negeri itu bisa dipenuhi.
Selanjutnya ia mengadakan rapat khusus dengan rombongannya. Diambilnya keputusan sebagai berikut: pertama, Letnan Pieter Simorangkir dan Bustami agar mengikutinya untuk mengadakan perjalanan selanjutnya;kedua, Letnan Sumihar Siagian ditugaskan pergi ke hilir Sungai Rokan dan Bagansiapi-api, guna meng•usahakan pemasukan senjata dari Singapura, namun harus disertai dengan kewaspadaan agar tidak terpedaya; ketiga, Sersan Mayor G.G. 81
Simamoraagar kembalike Rao hari itu juga beserta tiga orang pemandu yang membawa mesin cas aki pemberian Letnan Yunan Lubis, dan menyampaikan laporan kepada Panglima Sumatera.
Hari berikutnya, tanggal 27 Desember, dilakukan persiapan pemberangkatan Letnan Sumihar Siagian yangakan menyamar beserta para pedagang naik sampan menuju Bagansiapi-api melalui Sungai Rokan Kanan. Sampan diisi dengan muatan barang dagangan berupa getah karet kering.
Persiapan itu dilakukan dengan cepat, sehingga keesokan harinya tanggal28 Desembersampan sudah dapat bertolak menghilir menuju Kota Tengah tanpa halangan suatu apa. Dari Kota Tengah mereka naik perahu motor menuju Sidinginan dan Bagansiapi-api.
Seharian suami saya bersama Pieter Simorangkir dan Bustami mempelajari keadaan sekitar Sungai Rokan Kiri yang menghubungkan kota Rokan dengan Rao, begitu pula dipelajarinya jalur hubungan antara Ujung Batu dengan Kota Lama, Rantau Kopar, Sidinginan dan Bagansiapi-api. Penjelasan mengenai keadaan sepanjang jalur itu selanjutnya diperoleh dari pedagang-pedagang yang biasa berlayar di sana.
Dengan catatan pengetahuan mengenai keadaan jalur perdagangan Sungai Rokan Kanan dan RokanKiri yang sedang ditempuh oleh Letnan Sumihar Siagian, suami saya beserta Letnan Pieter Simorangkir dan Bustami kembali ke Rao. Perjalanan itu memakan waktu dua hari.Tanggal 30 Desember sore mereka tiba di Rao, langsung menyampaikan
Laporan kepada Kolonel Hidayat mengenai penentuan lokasi basis dan jalur suplai senjata dan perlengkapan. Dapatlah disimpulkan, bahwa dalam waktu tujuh hari suami saya telah menyelesaikan tugas membuka jalur suplai yang sangat berbahaya antara Rao, Pasir Pangarayan, Bagansiapi-api, dan Singapura. Dengan segala perhitungan yang matang berdasarkan keterangan dan laporan yang meyakinkan dari para pedagang sebagai tangan pertama, ia dengan penuh tanggung jawab memerintahkan anggota rombongannya, yaitu Letnan Sumihar Siagian, supaya memasuki daerah musuh.
*
Siang dan malam suamisaya membuat persiapan yang serapi mungkin mengenai pengangkutan suplai perlengkapan dan persenjataan agar dapat terlaksana tanpa terganggu oleh patroli musuh. Menjelang tengah malam tanggal 31 Desember1948, ketika ia sedang berbaring tiba-tiba bangkit lalu mengambil buku catat:='nnya - sebuah . buku catatan yang sudah lama dipergunakan. Sambil membuka-buka halamannya, pelan-pelan suami saya bernyanyi. Sersan Mayor Simamora yang mendengar merasa heran karena yang dinyanyikan bukan lagu rohani seperti biasanya, tetapi lagu populer. Sebait lagu telah dinyanyikannya, kemudian mendekati Simamora dan berkata: "Tahukah Simamora, lagu tadi adalah lagu kesayangan saya waktu bersekolah di MULO dulu. Nah, lagu itu kita jadikan pengantar memasuki tahun 1949 besok."
Tepat pukul00.00 disalaminya Simamora, kemudian berkata: "Apa yang dapat kita lakukan sekarang? Hanya memanjatkan doa kepada Tuhan dan berpengharapan." Keduanya bersalaman, selanjutnya berdoa dengan khidmat.
Dengan suara tenang suami saya berkata: "Tahun 1948 telah lampau. Awal tahun 1949 baru saja kita rayakan dengan doa. Tahun 1949 merupakan tahun teka-teki. Namun demikian, kita akan arungi dengan keyakinan penuh. Negara Republik Indonesia mengharapkan kita berbuat lebih baik lagi."
Klik ke dafar isi
Itulah pantangan bagi setiap pejalan yang melalui puncak Bukit Simalombu. Bukit itu memang merupakan bukit yang tertinggi di antara deretan Bukit Barisan di wilayah itu, dan yang harus dilalui karena merupakan batas antara Sumatera Barat, Tapanuli dan Riau. Jauh di lembah di arah bawah terdengar bunyi desir aliran air sungai. Itulah hulu Sungai Rokan. Rombongan itu pun meneruskan perjalanan sambil melawan hawa dingin. Tak ada yang berbicara satu sama lain. Tiba-tiba Bustami menoleh dan memberi tahu bahwa tidak lama kemudian akan tiba di tempat yang dapatdigunakan untuk beristirahat setelah berjalan selamaenamjam. Benar juga, jalan setapak itu terhenti pada sebuah tanah yang agak lapang, kira-kira seluas lapangan badminton. Rombongan beristirahat, dan matahari pun sudah tampak di atas.
Hanya beberapa meter jaraknya dari tempat beristirahat itu terdapat sumur alami yang terjadi dari batu, yang berisi air kira-kira secupak, atau kira-kira empat liter. Sumur itu dinamakan Sumur Secupak. Bustami menjelaskan, biasanya pejalan yang hendak melepas haus dengan air sumur itu harus menggunakan kedua belah telapak tangannya untuk menciduk, lalu mereguk airya sepuas-puasnya.
Maka Bustami pun mulai meraup air itu dengan kedua belah telapal tangan, lalu meminumnya. Berkali-kali dilakukannya sampai puas Suami saya mengikutinya, minum dengan cara seperti yang dilakukan Bustami, selanjutnya diikuti pula oleh anggota rombongan lainnya.
"Menurut hikayat dan kata orang, walaupun banyak pejalan yang lewat di sini dan minum air dari sumur ini sebanyak-banyaknya, tapi sumur ini tak pemah kering. Sumur selalu penuh. Begitu pula bila terjadi hujan lebat, air sumur tidak pemah melimpah," kata Bustami.
Setelah cukup beristirahat, suami saya bangkit lalu berdiri di atas sebuah batu di tepi tanah yang agak lapang itu. Dari sana ia dapat memandang lembah nun di bawah dan hamparan padang luas. Ia berdiri tegak dan bersikap sempuma, tangan kanannya diangkat lalu membuat penghormatan secara militer. Anggota-anggota rombongan terpukau, namun tidak berani membuka mulut untuk bertanya.
Suami saya turun dari atas batu besar itu sambil berkata: "Okey, tuan-tuan. Mari kita teruskan perjalanan."
Berbeda dari perjalanan sebelumnya, kali ini bukan Bustami yang berjalan paling depan, tetapi suami saya. Bustami di belakangnya, baru anggota rombongan lain di belakang berurutan. Baru beberapa menit berjalan, perjalanan memasuki hutan lagi. Matahari pun tak tampak lagi. Kalau sebelumnya lebih banyak mendaki dan menuju ke arah timur, kali ini menurun dan menuju ke arah utara.
Sersan Mayor G.G. Simamora, anggota rombongan yang paling muda, rupanya masih memendam pertanyaan mengapa suami saya tadi berdiri tegak di atas batu besar dan menyampaikan hormat secara kemiliteran. Kejadian di bukit Simalombu dekat sumur Secupak itu sangat memukaunya. Ia mendekati suami saya dari belakang lalu bertanya seperti berbisik: "Pak Pandjaitan, tadi saya lihat Bapak memberihormat dengan sikap sempurna, padahal yang Bapak hormati tidak kami lihat. Apakah Bapak dapat menjelaskan?"
"Rao terletak di sebelah selatan bukit ini," kata suami saya mulai menjawabdan menjelaskan. "Saya tadi menyampaikan penghormatan kepada Panglima Kolonel Hidayat, juga kepada Kolonel Kartakusuma dan my friend Mayor Tjakradipura, dan lain-lain. Kesetiaan kita ke atas, ke bawah, dan ke samping, dan tidak hanya kita tunjukkan bila sedang berhadapan. Semoga beliau semua berhasil dalam perjuangan, dan kita pun berhasil."
*
Kira-kira pukul 16.00 petang perjalanan mulai mengarah ke timur, dan sejam kemudian tiba di sebuah dusun. Desa Kaiti namanya. Menurut Bustami, dari Kaiti hanya tinggal dua kilometer lagi jaraknya dari Pasir Pangarayan.
Rombongan beristirahat di bawah pohon besar sambil memperhatikan suasana kampung. Tampak rumah-rumah yang berjajar berdekatan. Terdengar suara anak-anak yang berbicara dengan logatnya seperti penduduk Tapanuli dan Mandailing.
Kata Bustami, pada umumnya penduduk Kaiti adalah keturunan pendatang dari Tapanuli Selatan, yang sudah tinggal disitu sejak seabad yang lalu ketika para pengikut Imam Bonjol terusir dari Tapanuli oleh pasukan Belanda. Salah seorang panglimanya, Tuanku Tambusai, mundur ke daerah sekitar Pasir Pangarayan, Oalu-dalu dan Kaiti. Kecamatan Pangarayan sampai kini disebut kecamatan Tambusai.
Karena kewedanan Pasir Pangarayan sudah dekat, perjalanan rombongan dilanjutkan, dan pukul 17.40 tibalah sudah.
Suami saya sudah mengenal daerah ini karena berada di bawah wilayah Kompi 3 Batalyon I. Karena itu begitu memasuki Pasir Pangarayan ia langsung menuju sebuah rumah besar, yaitu rumah Komandan Kompi Letnan Yunan Lubis. Begitu bersua, keduanya berpelukan.
Rombongan masuk ke dalam rumah, diterima dengan hangat oleh isteri Yunan Lubis, Berlian boru Hasibuan. Setelah duduk beristirahat sambil minum-minum, suami saya bertanya, apakah pesawat terbang musuh sering mengintai atau menyerang daerah itu. Mendengar jawaban bahwa daerah itu aman dari serangan udara, ditanyakan lagi mengenai kegiatan perdagangan yang menggunakan jalur Sungai Rokan menuju Bagansiapi-api.
Yunan Lubis memanggil petugas piket dan memerintahkan supaya memanggil para pedagang yang biasa merantau melalui Sungai Rokan.
Seusai makan malam, para pedagang tersebut datang. Mereka diperkenalkan kepada suami saya. Dengan pendekatan yang ramah ia mulai menerangkan perjuangan kita yang selain melakukan perang gerilya juga mencari dana untuk membeli senjata dan perbekalan. Karena itu diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai keadaan genting yang kita hadapi bersama.
Karena menurut Letnan Yunan Lubis para pedagang itu baru tiba dari Bagansiapi-api, suami saya bertanya dan meminta keterangan tentang: pertama, kekuatan pasukan Belanda di Bagansiapi-api dan sekitamya; kedua, kegiatan patroli Belanda; ketiga, semangat juang mereka; keempat, bagaimana cara pengamanan yang sebaik-baiknya kalau kita memesan senjata dari Singapura melalui Bagansiapi-api atau suatu tempat lain yang aman; dan kelima, diperlukan pemasok yang berjiwa Republiken dan bersedia membela kepentingan kitajika iaharus mengambil senjata dari Singapura.
Masing-masing pedagang memberikan keterangan dan saran yang cukup memuaskan. Juga Letnan Sumihar Siagian memberikan sumbangan pikiran yang sangatberguna berdasarkan pengalamannya sebagai pejabat kepolisian di Bagansiapi-api pada tahun 1947.
Esok harinya pukul 9.00 suami saya mengadakan pertemuan lagi, kali ini dengan tokoh dan pemuka masyarakat serta pimpinan pemerintahan setempat. Hadir sekitar 200 orang. Salah seorang di antaranya ialah Suman Hs., orang yang paling berpengaruh di Pasir Pangarayan, dan juga pengarang roman Anak Perawan di Sarang Penyamun. la pun seorang pendidik.
Dalam pertemuan itu suami saya mula-mula menjelaskan serangan yang dilancarkan pasukan Belanda yang berhasil menduduki kota-kota besar, dan penderitaan rakyat sebagai akibat serangan itu sangat menyedihkan. Kalau tentara kita justru mengosongkan kota sehingga kota itu bisa diduduki secara mudah oleh musuh, bukan berarti kita tidak melakukan perlawanan. Persenjataan kita memang kurang memadai, karena itu kita melakukan perjuangan yang paling tepat yaitu melancarkan perang gerilya. Namun demikian, kita harus menambah senjata dan peluru. Ia meminta agar hal tersebut dijelaskan kepada rakyat, agar mereka tidak berkecil hati, bahkan membantu perjuangan dengan cara apa pun.
"Saya datang kemari atas perintah Panglima Sumatera Kolonel Hidayat untuk berusaha mencari senjata," tegasnya. "Sementara upaya itu belum berhasil, kita harus memperkokoh persatuan dan menghindari perpecahan. Bantulah tentara kita dalam melakukan perang gerilya. Selain itu harus giat bercocok tanam agar bahan makanan kita tetap tersedia. Juga kita harus awas dan waspada terhadap mata-mata musuh yang menjalankan siasat adu domba."
Diterangkan pula akibat serangan Belanda terhadap perekonomian kita. Jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota dan menjadi urat nadi lancamya roda perekonomian telah terputus. Kita terpaksa menempuh jalan tikus melaluihutan belantara. Atau harus menggunakan sampan, rakit atau perahu motordari Pasir Pangarayan ke Bagansiapi-api. Walaupun lambat dan tidak lancar, namun kita tidak boleh berputus asa.
Dikemukakan keyakinannya, bahwa pasukan Belanda tidak akan datang menyerang sampai Pangarayan, karena jumlah pasukannya terbatas, apalagi ketahanannya, sedangkan kita mampu berjuang lama karena mendapat dukungan dari rakyat, terutama dukungan makanan dari penduduk desa dan petani. Karena itu kita harus berjuang bersama, dan rakyat hendaknya tetap tenang serta mengikuti petunjuk dari pemerintah maupun dari pimpinan TNI.
Pidato dan penjelasan itu diakhiri dengan seruan selamat berjuang dan pekik perjuangan "Merdeka!" Dalam ramah tamah dengan para pemuka masyarakat setempat itu suami saya sempat melakukan penyelidikan apakah memang masih ada hubungan dagang antara Bagansiapi-api dengan luar negeri, khususnya dengan Singapura. Ia memesan rokok buatan luar negeri kepada Suman Hs. Temyata pesanan barang buatan luar negeri itu bisa dipenuhi.
Selanjutnya ia mengadakan rapat khusus dengan rombongannya. Diambilnya keputusan sebagai berikut: pertama, Letnan Pieter Simorangkir dan Bustami agar mengikutinya untuk mengadakan perjalanan selanjutnya;kedua, Letnan Sumihar Siagian ditugaskan pergi ke hilir Sungai Rokan dan Bagansiapi-api, guna meng•usahakan pemasukan senjata dari Singapura, namun harus disertai dengan kewaspadaan agar tidak terpedaya; ketiga, Sersan Mayor G.G. 81
Simamoraagar kembalike Rao hari itu juga beserta tiga orang pemandu yang membawa mesin cas aki pemberian Letnan Yunan Lubis, dan menyampaikan laporan kepada Panglima Sumatera.
Hari berikutnya, tanggal 27 Desember, dilakukan persiapan pemberangkatan Letnan Sumihar Siagian yangakan menyamar beserta para pedagang naik sampan menuju Bagansiapi-api melalui Sungai Rokan Kanan. Sampan diisi dengan muatan barang dagangan berupa getah karet kering.
Persiapan itu dilakukan dengan cepat, sehingga keesokan harinya tanggal28 Desembersampan sudah dapat bertolak menghilir menuju Kota Tengah tanpa halangan suatu apa. Dari Kota Tengah mereka naik perahu motor menuju Sidinginan dan Bagansiapi-api.
Seharian suami saya bersama Pieter Simorangkir dan Bustami mempelajari keadaan sekitar Sungai Rokan Kiri yang menghubungkan kota Rokan dengan Rao, begitu pula dipelajarinya jalur hubungan antara Ujung Batu dengan Kota Lama, Rantau Kopar, Sidinginan dan Bagansiapi-api. Penjelasan mengenai keadaan sepanjang jalur itu selanjutnya diperoleh dari pedagang-pedagang yang biasa berlayar di sana.
Dengan catatan pengetahuan mengenai keadaan jalur perdagangan Sungai Rokan Kanan dan RokanKiri yang sedang ditempuh oleh Letnan Sumihar Siagian, suami saya beserta Letnan Pieter Simorangkir dan Bustami kembali ke Rao. Perjalanan itu memakan waktu dua hari.Tanggal 30 Desember sore mereka tiba di Rao, langsung menyampaikan
Laporan kepada Kolonel Hidayat mengenai penentuan lokasi basis dan jalur suplai senjata dan perlengkapan. Dapatlah disimpulkan, bahwa dalam waktu tujuh hari suami saya telah menyelesaikan tugas membuka jalur suplai yang sangat berbahaya antara Rao, Pasir Pangarayan, Bagansiapi-api, dan Singapura. Dengan segala perhitungan yang matang berdasarkan keterangan dan laporan yang meyakinkan dari para pedagang sebagai tangan pertama, ia dengan penuh tanggung jawab memerintahkan anggota rombongannya, yaitu Letnan Sumihar Siagian, supaya memasuki daerah musuh.
*
Siang dan malam suamisaya membuat persiapan yang serapi mungkin mengenai pengangkutan suplai perlengkapan dan persenjataan agar dapat terlaksana tanpa terganggu oleh patroli musuh. Menjelang tengah malam tanggal 31 Desember1948, ketika ia sedang berbaring tiba-tiba bangkit lalu mengambil buku catat:='nnya - sebuah . buku catatan yang sudah lama dipergunakan. Sambil membuka-buka halamannya, pelan-pelan suami saya bernyanyi. Sersan Mayor Simamora yang mendengar merasa heran karena yang dinyanyikan bukan lagu rohani seperti biasanya, tetapi lagu populer. Sebait lagu telah dinyanyikannya, kemudian mendekati Simamora dan berkata: "Tahukah Simamora, lagu tadi adalah lagu kesayangan saya waktu bersekolah di MULO dulu. Nah, lagu itu kita jadikan pengantar memasuki tahun 1949 besok."
Tepat pukul00.00 disalaminya Simamora, kemudian berkata: "Apa yang dapat kita lakukan sekarang? Hanya memanjatkan doa kepada Tuhan dan berpengharapan." Keduanya bersalaman, selanjutnya berdoa dengan khidmat.
Dengan suara tenang suami saya berkata: "Tahun 1948 telah lampau. Awal tahun 1949 baru saja kita rayakan dengan doa. Tahun 1949 merupakan tahun teka-teki. Namun demikian, kita akan arungi dengan keyakinan penuh. Negara Republik Indonesia mengharapkan kita berbuat lebih baik lagi."
Klik ke dafar isi