Setahun berikutnya PPI Jerman Barat mengadakan simposium mengenai Hidup Bernegara. Dalam simposium itu dibahas politik dan ketatanegaraan sebagai konsekuensi berlakunya kembali UndangUndang Dasar 1945.
Atas prakarsa suami saya, simposium mengundang Bapak Mohammad Hatta yang ketika itu sedang berkunjung ke Swedia untuk memberikan ceramah. Tanpa saran dan prakarsa suami saya PPI tidak berani mengundang Bung Hatta, karena pada waktu itu telah terjadi perbedaan pendapat yang makin meruncing antara Bung Hatta dan Bung Kamo. Akhimya PPI Jerman bahkan mencetak buku Bung Hatta Demokrasi Kita, dan menyebarkannya ke Indonesia.
Pembinaan terhadap mahasiswa Indonesia di Jerman Barat sangat intensif; PPI semakin maju dan kelompok Pancasila Moral Etik dapat mencegah pengaruh komunis.
Menjelang akhir tahun 1960 kegiatan kelompok "revolusioner" dalam tubuh PPI tampak mencuat sebagai akibat dari diumumkannya di Jakarta Manifesto Politik, Demokrasi Terpimpin, dan Nasakom atau penggabungan unsur nasionalis, agama, dan komunis. Terlebih-lebih setelah makin banyaknya pengiriman mahasiswa Indonesia ke negara-negara blok Timur, yaitu Uni Soviet, Rumania, Cekoslowakia dan sebagainya. Akibatnya, dalam setiap pertemuan PPI seluruh Eropa terjadilah perdebatan sengit tentang arah masa depan Indonesia.
Dalam pada itu PPI seluruh Eropa akan mengadakan konferensi dan seminar di Praha, Cekoslowakia. Menurut ketentuan, setiap perwak.ilan PPI hanya mewakili satu suara dalam forum konferensi tersebut. PPI Jerman Barat pun hanya dibenarkan memilikisatu suara meskipun anggotanya lebih banyak dari PPI negara-negara Eropa1 · Untuk menghadapi konferensi itu PPl Jerman Barat mengada persiapan, dan selalu berhubungan dengan suami saya.
Kebetulan dalam bulan Juni 1961 KSAD Jenderal Nasution beserta Brigadir Jenderal Soeharto (selanjutnya Jenderal, Presiden RI) berada di Jerman Barat. Kesempatan itu digunakan oleh masyarakat Indonesia dan PPI Jerman Barat untuk mengundangnya dalam suatu pertemuan di Köln, dan Jenderal Nasution diminta memberikan ceramah. Pertemuan tersebut juga digunakan oleh PPl dan kelompok Moral Etik untuk menghadapi konferensi PPl seluruh Eropa di Praha Jenderal Nasution menceramahkan Pancasila sebagai ideologi darl falsafah hidup bangsa Indonesia. Hal itu sejajar dengan pandangan kelompok Moral Etik. Dengan bekal itu PPl Jerman Barat merasa siap menghadapi konferensi di Praha.
Seorang mahasiswa di Jerman Barat saat itu menyiapkan makalah untuk dikemukakan di Praha, judulnya "Manipol dan Nasakom sebagai Strategi PKI" . Mengenai makalah Augus Nasution ini oleh PPI Jerman Barat dimintakan pendapat dari Jenderal Nasution, apakah boleh dibawa ke Praha atau tidak. Jawabnya "Boleh saja". Atase Militer yang diminta pendapatnya juga mengatakan: "Bawa saja." Konferensi di Praha dibuka dalam bulan Agustus 1961, dihaditi pula oleh Achmadi dari Jakarta: Makalah "Manipol dan Nasakom sebagai Strategi PKI" pun dibacakan oleh Augus Nasution. Maka konferensi itu pun gempar.
Dalam konferensi ini PPI Jerman Barat yang hanya memiliki satu suara meskipun jumlah anggotanya lebih banyak dari PPI negara negara lain, dengan sendirinya kalah suara.
Ketika Konferensi Negara-negara Non Blok berlangsung, datanglah Subandrio, D.N. Aidit dan Muhammad Yamin. Dalam kesempatan itu rupanya Achmadi memberikan laporan kepada Bung Karno bahwa mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Jerman Barat yang dibina oleh Kolonel D.I Pandjaitan berani menentang teori Manipol dan Nasakom. Bung Karno marah, dan memerintahkan agar "D.I. Pandjaitan dan Duta Besar Lukman Hakim dipanggil". Maka berangkatlah Duta Besar dan suami saya memenuhi panggilan itu ke Beograd.
Setibanya kembali di Bonn, suami saya memanggil Midian Sirait, dan mengatakan bahwa Presiden telah memarahinya. "Karena itu :berusahalah dan berbuat agar kalian dan PPI Jerman Barat tidak dianggap anti Nasakom, anti Manipol, dan Anti Bung Kamo," kata suami saya.
Midian menjawab, bahwa "kami ini bukan anti Bung Kamo, tetapi kami orang-orang Pancasilais."
Sementara itu Presiden Sukamo hendak mengutus Muhammad Yamin ke Bonn untuk mengetahui keadaan mahasiswa Indonesia yang sebenamya. Kedatangan Muhammad Yamin ditentukan tanggal 20 Agustus 1961. Atas saran Atmil, Midian Sirait mengundang para anggota PPI Jerman Barat untuk rapat. Maka dalam rapat itu dibentuklah Badan Perjuangan Pengembalian Irian Barat (Baperpib), dan membentuk barisan sukarelawan yang siap dikirim ke Irian Barat. Barisan ini dipimpin oleh lr. Urip Markaban.
(FOTO rapat dg Mahasiswa)
Ketika Muhammad Yamin tiba di Bonn, kira-kira 200 orang mahasiswa Indonesia berkumpul dan menyambutnya. Dikumandangkanlah pidato-pidato perjuangan Baperpib, begitu pula tentang terbentuknya barisan sukarelawan yang siap merebut Irian Barat. Muhammad Yamin kelihatan terharu menyaksikan peristiwa itu, bahkan secara tidak sadar meneteskan air mata. Dalam pidatonya, ia menegaskan: "Mahasiswa Indonesia di Jerman Barat ternyata difitnah. tidak betul mereka tidak Pancasilais, tidak betul mereka tidak beraliran kebangsaan, dan tidak betul mereka tidak mendukung Bung Karno."
Setelah menyaksikan peristiwa tersebut, Muhammad Yamin cembali ke Beograd dan menyampaikan laporan kepada Presiden sebagaimana keyakinan dan kesaksiannya. Dengan demikian selesailah masalah tuduhan terhadap mahasiswa Indonesia di Jerman Barat, termasuk tuduhan terhadap suami saya dan Duta Besar Lukman Hakim.
*
Pecahnya pemberontakan PRRI dan Permesta berdampak khusus pada perjuangan mengembalikan Irian Barat, khususnya di luar negeri, di Eropa. Sebagai Atase Militer di. Jerman Barat, suami saya bekeja keras mengatasi dampak yang bisa merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Sebenamya, jauh sebelum beberapa perwira senior Angkatan Darat melahirkan Dewan Gajah dan Dewan Garuda, suami saya sebagai perwira yang lebih muda telah berani menyampaikan pendapat secara langsung kepada Kolonel M. Simbolon yang pernah menjadi atasannya. Suami saya berpendapat, bahwa gerakan kedaerahan itu sudah menjurus kepada perpecahan kesatuan bangsa. Jika perpecahan itu menyebabkan terjadinya pemberontakan, pasti akan merugikan perjuangan bangsa dan negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dimintanya kepada Kolonel M. Simbolon agar pemikiran ke arah itu diurungkan, dan seandainya pemikiran semacam itu sudah ada, hendaknya dikaji ulang. Disarankannya, agar potensi manusia Indonesia diperhitungkan, jangan hanya memperhitungkan potensi daerah saja, yang belum tentu merupakan suatu kekuatan meskipun orang orang dari daerah itu memiliki satu bahasa. Dengan jelas dilihatnya, bahwa isu-isu yang dilontarkan sudah berupa pertentangan antara Jawa dan Sumatera. Adapun mengenai perimbangan keuangan dan distribusi hasil pembangunan, bahkan politis, kiranya dapat diperjuangkan dalam bentuk lain, asal tidak menjurus kepada pemberontakan.
Saya tahu benar, saran itu disampaikannya secara lisan sebelum kami sekeluarga berangkat ke Jerman Barat. Belum satu tahun kemudian, pada tanggal 15 Februari 1958, kelahiran PRRI sudah diumumkan oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang. Dampak pemberontakan daerah itu terasa di Eropa, yaitu negara-negara blok Barat seolah-olah mendukung PRRI karena bujukan Belanda sebagai anggota NATO, sedangkan negara-negara blok Timur mendukung Jakarta dan n1engutuk pemberontakan.
Setelah melihat beberapa tokoh PRRI datangke Eropa untuk mencari dukungan, juga hendak mempengaruhi pejabat-pejabat dan masyarakat Indonesia agar berpihak pada PRRl, suami saya berusaha agar pemberontakan itu tidak sen1akin rrteluas dengan segala akibal yang merugikan bangsa dan negara. Dari Bonn ia menulis surat pribadi kepada Kapten Manulang di Palembang, dan meminta agar pemberontakan itu tidak meluas sampai ke daerah Sumatera Selatan. Dengan sungguh-sungguh dimintanya agar Sumatera Selatan jangan sampai terjerumus ke dalam kubu PRRI. Dalamsuratitu ia mengatakan telah menulis surat serupa kepada perwira-perwira yang mungkin mendukung PRRI.
Pecahnya pemberontakan PRRI di Sumatera ternyata diikuti dengan pemberontakan Permesta (Perjuangan Semesta) di Sulawesi Utara. Kolonel A.E. Kawilarang dari Washington menelepon suami saya, menyatakan bahwa dirinya akan meninggalkan posnya dan bergabung dengan Permesta di Sulawesi Utara. Dalam percakapan melalui telepon itu suami saya menasihatinya agar tidak meninggalkan Washington. Tetapi Kolonel Kawilarang tetap pada pendiriannya.
*
Suatu hari kami kedatangan tamu KolonelSukendro dan isteri. Konon Kolonel Sukendro di Indonesia tengah dicurigai sebagai perwira yang memihak PRRI, sehingga Presiden menonaktifkan dan menyuruhnya beristirahat seraya berkeliling dunia. Dan di rumah kamilah mereka berdua menginap.
Sudah dikenal umum bahwa Kolonel Sukendro sangat menentang komunis. Tetapi dalam perjalanan keliling dunia ia ingin pula melihat Soviet Uni, yaitu negara pusat komunis internasional. Karena kebetulan suami saya sedang cuti, diajaknya pula ke Moskow beserta saya juga. Kebetulan di Moskow akan diadakan parade militer. Ajakan itu kami terima, tetapi kami sarankan agar Kolonel Sukendro beserta isteri berangkat lebih dulu, karena suami saya, walaupun dalam masa cuti, tiba-tiba ada tugas mendadak yang harus diselesaikan . Setelah Kolonel Sukendro dan isteri berangkat, beberapa hari kemudian kami pun menyusul. Temyata di Moskow Nyonya Sukendro sakit. Menurut hasil pemeriksaan dokter, ia harus segera dioperasi karena terjadi kehamilan di luar kandungan. Sebenarnya Kolonel Sukendro tidak menyetujui diadakannya operasi itu, karena transfusi darat, nanti akan mengalirkan darah komunis dalam tubuh isterinya. tetapi karena terpaksa, akhirnya disetujuinya juga.
Di Moskow Kolonel Sukendro dan kami menginap di hotel. Tak disangka-sangka, Mr. lwa Kusumasumantri dan isteri menemui kami dihotel. Meskipun Menteri Pertahanan ini sangat ramah, tetapi kami tahu bahwa kebijakan dan keputusannya terhadap Angkatan Darat terkadang sangat mengagetkan dan kontroversial. Diketahui bahwa ia pernah menjadi pengikut Tan Malaka dan, kata orang, mendukung PKI. Maka untuk menghindar, kami segera berangkat ke Bukarest, Rumania, untuk berwisata. Tetapi setelah beberapa hari di Bukarest, Mr. Iwa Kusumasumantri tiba-tiba saja muncul di kamar hotel kami, dan selanjutnya di kamar Kolonel Sukendro. Karena suami saya merasa ada sesuatu yang mencurigakan, kamipulang segera ke Bonn. Kolonel Sukendro dan isteri pun meninggalkan Bukarest, entah menuju ke mana.
Selama kami menyertai Kolonel Sukendro, suamisaya selalu dengan tegas menyatakan bahwa pemberontakan PRRI jelas merugikan perjuangan bangsa dan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Namun temyata suami saya malahan dicurigai dan difitnah membantu PRRI. Mungkin hal ini dihubungkan dengan kedatangan Kolonel Sukendro, yang dikuntit oleh Mr. lwa Kusumasumantri.
klik ke daftar isi
klik ke daftar isi