eBook 17-1. RIGHT OR WRONG MY COUNTRY




* Maunya anak-anak Lekas besar

* Berbagai firasat

* "Pada dasarnya manusia itu sama"

* Menjadi ilham selamanya

Sepeninggal suami saya, perasaan sepi dan duka sering muncul, apalagi bila memikirkan jalan yang masih jauh harus saya tempuh: mendidik anak-anak agar mereka kelak dapat melangkah secara mantap dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Memang kerapkali dulu saya diajak berbicara oleh suami tentang pendidikan anak-anak. Sering ia berkata: "Maunya anak-anak semua ini lekas besar-besar. Kita jadi senang." Bahkan kata-kata itu diucapkan pada saat-saat yang tidak saya duga. Mungkinkah itu karena firasatnya bahwa ia akan berpisah dengan anak-anak selagi masih membutuhkan kasih-sayang dan birnbingannya?
"Mamajangan takut. AdaTuhan," itujuga kata-katanya yang sering dinasihatkan, sehingga menjadi amanat dan wasiat bagi saya dan anak anak.

Ketakwaannya dan kebaktiannya kepada Tuhan sudah menyatu dalam kehidupannya sejak dulu, sehingga kami yang ditinggalkannya merasa wajib mencontohnya. Pernah pada suatu hari Minggu suami saya menyuruh Katherin mengikuti kebaktian di gereja. Namun puteri sulung ini barangkali sudah punya rencana untuk pergi berekreasi, atau karena lelah belajar ingin beristirahat di rumah. Ayahnya segera berucap: "Tak bisa engkau menyediakan waktumu satu jam saja di hari Minggu ini untuk Tuhan?"

Saat itu ucapan ayahnya tersebut dianggap wajar saja, biasa saja. Tetapi sepeninggal ayahnya, ucapan itu terus mengiang di telinga, dan menyadarinya sebagai nasihat yang sungguh benar dan mulia.

Disiplin dan aturan kehidupan sehari-hari diterapkan oleh suami saya kepada anak-anak. Seusai makan malam anak-anak harus duduk di meja belajar masing-masing, dan sesudah jam berdenting sembilan kali mereka harus masuk karnar tidur. Saya yakin sekarang, bahwa disiplin dan aturan yang ketat itu dimaksudkan agar anak-anaknya nanti juga dapat menerapkan disiplin itu kepada cucunya, supaya menjadi manusia yang berpribadi kuat.

Ora et Labora (berdoa dan bekerja) adalah semboyan hidup suami saya sejak remaja, dan kepada putera-puterinya ia tanamkan semboyan Berdoa dan Belajar. Hotmangaraja, atau yang biasa kami panggil Oce, yaitu anak keempat kami tak akan lupa akan motto ayahandanya. Dulu di Bonn, Jerman, pagi-pagi selagi Oce berjalan menuju sekolah, ayahnya bersama Pak Diapari Gultom berkendaraan mobil berangkat pula menuju kantor. Karena tahu bahwa Oce belum berdoa sebelum berangkat, mobil dihentikan, lalu menegur: "Kamu Oce, sudah berdoa?"

Mendengar kata-kata itu Oce segera meletakkan ranselnya di tepi jalan, lalu berdoa. Selesai berdoa Oce melanjutkan berjalan menuju sekolah, dan ayahnya pun menuju kantor.

Dua orang putera kami, Saloma dan Oce, setelah remaja sama-sama ingin melanjutkan perjuangan ayahandanya sebagai prajurit. Keduanya ingin memasuki AMN (Akademi Militer Nasional) di Magelang. Saya merasa bangga akan cita-cita luhur keduanya yang·ingin jadi prajurit pengawal negara dan pembela bangsa, namun saya juga tahu bahwa tugas prajurit sangatlah berat, yang harus siap-sedia menjalankan kewajiban setiap saat. Saya pikir kemudian, satu orang putera sajalah yang menjadi prajurit. Pendapatsaya dipatuhi oleh Salomo yang baru lulus dari SMA dan Oce yang masih  duduk di bangku SMA. Maka keduanya pun melalukan sut, dan ... Oce yang menang.

Menjelang lulus dari SMA, kepada guru pembinbingnya Oce mengatakan hendak masuk AKABRI. Guru itu tercengang, bahkan marah, karena Oce sudah diarahkan ke ITB. Namun akhirnya cita-cita Oce itu dapat dimengerti.

Memang ada semacam firasat tentang usia suami saya. Dua hari tnenjelang pengkhianatan Gerakan 30 September, suami saya mengajak keluarga mengunjungi teman-teman terdekat, antaranya Kolonel Yunus Samosir dan Oom L.G. Silaen. Sebagai perpisahan, demikianIah.

Menjelang hari-hari terakhirnya, ia sangat memperhatikan pekerjaan supir dan pembantu rumah tangga kami. Kerap ia menghampiri pembantu yang sedang menyeterika, bahkan kadangkala turun tangan menyeterika bajunya sendiri, seakan-akan memberi contoh kepada anak-anak supaya tidak canggung melakukan pekerjaan semacam itu.

"Ketahuilah, pada dasarnya manusia itu sama," pemah ia memberi nasihat demikian. Maksudnya, kita harus menghargai martabat setiap manusia sebagai sesama makhluk Tuhan. Sebagai contoh ia menyebut supir pribadinya, lmron Badaruddin. Sebagai ciptaan Tuhan, semua manusia sama, yang berbeda hanya tugas masing-masing.
*

Waktu berjalan terus dari tahun ke tahun. Seorang diri saya mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak-anak. Terkadang juga terganggu oleh keragu-raguan akan kesanggupan saya sebagai wanita, tetapi ak.himya saya tersadar bahwa keputusasaan sungguh bertentangan dengan firman Tuhan. Juga sebagai isteri prajurit pejuang, saya pun harus berani menghadapi semua tantangan. Saya membiasakan diri pula berdoa bersama anak-anak sebelum tidur. Anak-anak pun saya nasihati agar berdoa pada saat-saat yang tepat dan manakala diperlukan.

Beruntung juga kami punya rumah. Gajih sebagai Atase Milite: atau pegawai di luar negeri, jika hemat, niscaya dapat ditabung.

Sepulang dari tugas suami di Jerman, dan belum mendapatkar perumahan dinas, suami saya mencari-cari rumah yang pantas kam tempati. Saya berpesan agar mencari rumah di daerah Menteng saja agar dekat dengan para Asisten Menteri/ Pangad lainnya. Daerah Kebayoran Baru saat itu masih sepi sekali, dan terasa jauh dari mana mana. Suatu saat tiba-tiba suami saya memberi tahu: "Mama, kita sudah dapat rumah. Bolehlah dilihat."
"Di mana?" tanya saya.
"Di Kebayoran Baru," jawabnya mantap. "Di Jalan Hasanuddin no. 53."
Saya diajaknya-melihat ke sana.
"Nah, inilah rumah kita," katanya meyakinkan.

Jalan Hasanuddin ·waktu itu masih lengang. Blok M masih merupakan tanah kosong, hanya ada sebuah toko di Jalan Melawai Raya. Jalan di depan rumah kami, begitu pula terusannya, Jalar lskandarsyah, nyaris tak ada kendaraan yang lewat; tidak sepertJ sekarang yang begitu hiruk-pikuk dengan pasar, terminal bis, dan iring· iringan kendaraan yang hilir mudik tidak ada hentinya sepanjang hari bahkan sering macet dan menyebarkan asap. Dulu terasa lengang bila kami duduk di teras depan menghadap jalan, apa lagi di malam hari sepi dan gelap.
"Kita tidak usah takut. Tuhan ada," tegas suami saya.

*

Sepeninggal suami saya banyak sekali kerabat dan teman-teman yang berkunjung menyatakan simpati ke rumah kami. Bukan saja mereka yang tinggal di Jakarta dan kota-kota lain, tetapi juga mereka yang tinggal di luar negeri.

Di antara mereka itu ada seorang wanita, Farida namanya, yang sangat akrab dengan kami sekeluarga. Ia dulu sekretaris suami saya di Bonn. la pun banyak dikenal oleh masyarakat kita di Eropa, bukan saja karena sikapnya yang akrab, juga karena ia suka meramal. Hampir setiap kenalan dimintanya agar membuka telapak tangan. Guratan guratan di telapak tangan konon bisa dibacanya sebagai suratan.

Memang penampilan dirinya pun seperti wanita zangi, gipsy; Zigeuner. Ia selalu mengenakan anting-anting besar dan untaian kalung yang panjang.
Ketika ia diterima menjadi pegawai pada staf Atase Militer di Bonn, suamisaya berkata kepadanya: "Boleh jadi pegawai di sini, tetapi mulai sekarang jangan buka-buka tangan lagi." Maksudnya, jangan meramal.

Ketika berkunjung ke Jakarta dan menemui kami di rumah setelah mendengar kabar meninggalnya suami saya, Farida menangis, terkenang akan kebaikan Atase Militer atasannya di Bonn dulu.

Saya bersyukur, Puji Tuhan, bahwa Tuhan yang Maha Pengasih itu memberi kekuatan lahir batin sehingga saya dapatmendidik anak-anak. Mereka telah mandiri sekarang, dan memberi ketenangan.

Adapun teladan dari suami saya yang berupa keteguhan hati, ketegaran jiwa, keberanian membuat keputusan, kesetiaan kepada tugas, tanggung jawab, curahan perhatian kepada bawahan, pengabdian kepada Korps, Bangsa dan Negara, serta kepercayaannya kepada Tuhan, menjadi ilham bagi kami selamanya.

Menjelang akhir penulisan riwayathidup suami saya ini, kebetulan saya membuka-buka notes kecil sebagai buku hariannya di masa perjuangan revolusi bangsa: Goresan tulisan tangannya tanggal 6 Juni 1948 melukiskan keteguhan jiwa patriotismenya:

“My battle song today: Right or wrong my Country, Right or wrong my Army”


kembali ke daftar isi
***