Menerima tamu dan mengisi buku tamu
Grace Sibarani dan para penerima tamu lain adalah keponakan keponakan dari DI.Pandjaitan.
Bawah:
Sere Siahaan (keponakan dari DI.P) dan ibu Antje T.Sibarani, adik dari Ny. DI.P
Bawah:
Bpk. Leo Panggabean dan istri dan putri pertama DI.P Ny. Katrin Pandjaitan, menerima tamu
Bawah:
Jenderal Wiranto, KSAD setelah mengisi buku tamu, diantarkan menuju ke tampat duduk.
Bawah:
LetJen (Purn) Sahala Rajagukguk dan istri
Bawah:
LetJen (Purn) Sintong Pandjaitan, bersalaman dengan Jenderal (Purn) Maraden Panggabean dan istri ny.M.Panggabean yg merupakan adik dari ny. DI. Pandjaitan.
Bawah:
Ibu DI. Pandjaitan dengan Ibu Sutoyo Siswomiharjo.
Keduanya adalah istri Pahlawan Revolusi yg masih bisa hadir pada 1997.
Keduanya adalah istri Pahlawan Revolusi yg masih bisa hadir pada 1997.
Bawah:
Jenderal Wiranto , KSAD 1997, yang telah banyak membantu pembuatan buku DI. Pandjaitan.
Bawah:
Ny. DI.P dan Kol. Hotmangaradja Pandjaitan, yg saat itu Atase Militer di Jerman akan menyerahkan cenedra mata pada tamu.
Bawah:
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat 1997, Brigjen TNI Robik Mukav yang telah banyak memberikan bantuan pada keluarga DI.Pandjaitan pada peluncuran buku di Jakarta 1997.
Bawah;
Menristek 1997- Prof BJ. Habibie, memberikan sambutan. Habibie sudah mengenal DI.Pandjaitan sejak menjadi beliau mahasiswa di Jerman dan DI.Pandjaitan menjadi Atase Militer di Bonn 1956- 1960.
Bawah:
Atase Militer Jerman di Jakarta meberikan hormat pada Kol. Hotmangaradja Pandjaitan (Putra dari DI.P)
Gea Panggabean dan suami, DR. Baringin Panggabean memberikan selamat pada ny. DIP,
Dr. Baringin Panggabean adalah keponakan dari Ny. DI. Pandjaitan.
Bawah:
DR. Baringin Panggabean, keponakan dari Ny. DI. Pandjaitan menyalam ny. DI.P
Bawah:
Ny. DI.P menjawab pertanyaan wartawan
Bawah:
Peta Gerilya PDRI (Pemerintahaan Darurat RI) dengan presiden Bung Hatta 1948-1950. Karena saat itu Bung Karno sedang di tangkap dan di penjara Belanda di Jakarta.Maka presiden aktif adlah Bung Hatta. Dan mayhor DI. Pandjaitan sebg kepala operasi dan logistik dari presiden PDRI, yg berpusat di Bukit Tinggi 1948. Tugas antara lain memberi penerangan pada rakyat bawah Indonesia sudah Merdeka dan menyeludupkan senjata dan Radio Komunikasi dari Singapore ke Sumatera untuk kerpluan gerilya.
Bawah
Museum PDRI di Kototinggi, Sumatera Barat., setelah dipugar 2014.
PEMERINTAHAN DARURAT RI (PDRI)
Menjelang akhir tahun 1945 keamanan kota Jakarta semakin memburuk. Tentara Belanda semakin merajalela dan aksi-aksi teror yang dilakukannya semakin meningkat. Pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priok pada tanggal 30 Desember 1945 menambah gentingnya keadaan.
Mengingat situasi keamanan yang semakin memburuk itu presiden dan wakil presiden pada tanggal 4 Januari 1946 pindah ke Jogjakarta dan kemudian ibukota Republik Indonesia pun turut pula pindah ke Jogjakarta.
Pada awal bulan Agustus 1948 Muso dan Suripno kembali ke tanah air dari eropa. Mereka dapat mempengaruhi Amir Syarifuddin (bekas perdana menteri), yang akhirnya menggabungkan diri pada Partai Komunis Indonesia. PKI menuduh pemerintah Indonesia berpolitik “memihak” Belanda. Pada tanggal 22 Agustus 1948 Muso memimpin rapat umum yang memutuskan, bahwa perundingan Belanda harus dihentikan. Akhirnya pada tanggal 18 September 1948 PKI Muso melakukan perebutan kekuasaan, yang dimulai di Madiun dan di daerah Surakarta.
Terjadilah perang saudara di Madiun, yang berakibat sangat menyedihkan. Penganiayaan dan pembunuhan telah menimbulkan korban yang tidak sedikit. Pemerintah mengerahkan TNI Divisi Siliwangi, yang berhasil merebut kembali daerah-daerah sekitar Madiun. Pada tanggal 31 Oktober 1948 Muso terbunuh dan peristiwa Madiun selesailah.
Pada waktu itu Belanda menunda serangan-serangan terhadap RI kiranya untuk menghindari tuduhan dunia bahwa mereka berjalan di bawah satu payung dengan kaum komunis. Perang saudara itu melemahkan kedudukan Indonesia, dan keadaan itu sangat menguntungkan pihak Belanda. Belanda memperhitungkan bahwa RI akan hancur dan tidak berdaya karena peristiwa Madiun.
Keadaan Republik Indonesia yang memang agak payah itu dipergunakan oleh Belanda untuk melancarkan serangan tiba-tiba pada tanggal 19 Desember 1948, yang lebih dikenal dengan peristiwa “Agresi Militer Belanda II”. Pagi-pagi angkatan perang Belanda menyerbu yogyakarta. Ibukota RI jatuh di tangan mereka.
Pemerintah RI yang ingin tetap berhubungan dengan anggota-anggota KTN tidak meninggakan Kota Yogya. Begitulah maka Presiden, Wakil Presiden dan beberapa orang Menteri dan Pejabat-Pejabat tinggi ditawan oeh Belanda dan diasingkan ke Bangka dan Sumatera Utara.
Tidak lama setelah ibukota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, mereka berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar. Karena para pemimpinnya, seperti Soekarno Hatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan.
Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh 15 Km di selatan kota Payakumbuh.
Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Syafruddin Prawiranegara, T. M. Hassan, Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Lukman Hakim, Ir. Indracahya , Ir. Mananti sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI A. Karim, Rusli Rahim dan Latif. Walaupun secara resmi kawat atau radiograf Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:
Kabinet Darurat merupakan Kabinet Sementara untuk menjalankan negara Indonesia yang pada saat itu, Presiden Ir. Soekarno dan Wakil Presiden yang merangkap Perdana Menteri Drs. Moh. Hatta ditangkap oleh Belanda. Kabinet ini bertugas pada periode 19 Desember 1949 - 13 Juli 1949, menggantikan sementara Kabinet Hatta I yang anggotanya ditawan oleh Belanda pada Agresi Militer Belanda II. Kabinet ini dikenal sebagai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Bukittinggi.
Susunan Kabinet Darurat yang telah disempurnakan antara lain :
-------------------------------------------------
Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan,
Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda,
Mr. Alexander A. Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India).
dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan.
Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan.
Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat.
Kyai Haji Masykur, Menteri Agama.
Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan.
Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum.
Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Perburuhan dan Sosial.
Pejabat di bidang militer:
-------------------------------
Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI.
Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa.
Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera.
Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut.
Komodor Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara.
Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.
Kemudian tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:
-----------------------------------------------
Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan.
Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat.
R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.
Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan L. N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasional sejak Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia.
Perlawanan
------------
Perlawanan bersenjata dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia serta berbagai laskar di Jawa, Sumatera serta beberapa daerah lain. PDRI menyusun perlawanan di Sumatera. Tanggal 1 Januari 1949, PDRI membentuk 5 wilayah pemerintahan militer di Sumatera:
Aceh, termasuk Langkat dan Tanah Karo.
-------------------------
Gubernur Militer : Tgk Daud Beureu'eh di Beureu'eh
Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Askari
Tapanuli dan Sumatera Timur Bagian Selatan.
Gubernur Militer : dr. Ferdinand Lumban Tobing
Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Alex Evert K.
Riau
------------------------------------
Gubernur Militer : R.M. Utoyo
Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Hasan Basri
Sumatera Barat.
---------------------------------------
Gubernur Militer : Mr. Sutan Mohammad Rasjid
Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim
Sumatera Selatan.
------------------------
Gubernur Militer : dr. Adnan Kapau Gani
Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Maludin Simbolon.