ebook 5-1, Temanten Baru dimasa Perang

 V. TEMANTEN BARU DI MASA PERANG

* Masa tunangan 6 bulan terlalu lama

* Pasukannya menembak pembom tempur B-25

* Memperoleh senjata dari pesawat musuh

* Kcbijaksanaan menjaga persatuan pasukan

Setelah lebih dari empat tahun meninggalkan keluarga karena merantauke Pekan Baru, D.l. Pandjaitan pada pertengahan bulan Mei 1946 pulangke Tapanuli karena rindu, terutama pada adik-adik yang pada saat ditinggalkan masih kecil-kecil. Ketika singgah di Sibolga ia melapor kepaJa Komandan Divisi Vl Kolonel Pandapotan Sitompul. Selain menjelaskan keadaan kearnanan di Pekan Baru,juga dikernukakan pelaksanaan tugas sehari-hari. Dalam hubungan ini disinggung juga bahwa dirinya belurn berumah tangga.

Kolonel Sitompul menyarankan agar ia kawin demi kepentingan dan kelancaran tugas. "Tetapi calon isteri belum ada. Untuk hal itu pulalah saya pulang ke kampung halaman dan berbicara dengan keluarga mengenai soal itu," jawabnya. "Kalau begitu, ada calon yang baik dan cocok. Saya kenal pula, yaitu puteri Bapak Tarnbunan, saudara Letnan Victor Tarnbunan, Staf Divisi VI Sibolga," kata Kolonel Sitornpul. "Kemarin saya lihat gadis itu di Sibolga ini. Namanya Marieke boru Tambunan." Ya, nama itu adalah nama saya.

Dengan menyertakan seorang ajudan, Kolonel Sitompul mendesaknya agar pergi ke rumah Letnan Victor Tambunan. Temyata di rumah Victor, tamu yang harap-harap cemas itu tidak dapat berjumpa dengan saya. Memang benar hari-hari sebelumnya saya berada di rumah Victor, tetapi pagi itu saya sudah kembali ke Tarutung. Victor dengan sungguh-sungguh menganjurkan agar ia pergi ke rumah kami di Sigompulon, Tarutung.

Esok harinya ia bertolak ke Tarutung. Pertama-ta ma ditemuinya Letnan Kolonel Raja Barita Sinambela, teman sekolahnya di MULO dulu yang kemudian menjadi komandan militer setempat, Komandan Resimen IV, Divisi I Sumatera Utara. Di rumahnya pula dia menginap. Walaupun Letnan Kolonel Sinambela sudah berumah tangga namun di rumahnya banyak teman-teman dari MULO dulu yang tinggal. Makin semaraklah pertemuan itu dengan munculnya D.l. Pandjaitan. Percakapan pun berlangsung santai, dan akhimya menyangkut soal rencana berumah tangga. la mengatakan, atas saran Kolonel Pandapotan Sitompul, di Tarutung ini ada gadis yang pantas untuk dijadikan teman hidup, yaitu puteri Bapak J.Tambunan. "Tepat sekali," sahut Sinambela, "karena keluarga itu dikenal oleh masyarakat sebagai keluarga yang baik. Disarankan agar ia pergi ke rumah kami, dengan diantarkan oleh pemuda-pemuda bekas murid MULO yang ada disitu: Dapari Gultom, teman sekolahnya di Tarutung yang sekarang sudah jadi Letnan I, ajudan Sinambela; Monang Siahaan, kemenakan bapak saya; Jansen Manurung dan Gunung Manurung, keduanya ipar tuan rumah.

Pemuda-pemuda itu sebenarnya merasa geli, lantas tersenyum senyum kepada Pandjaitan. Tentu saja terasa aneh, karena tidak ada sesuatu yang lucu, namun pemuda-pemuda itu tetap mengulum senyum. Setelah tamunya minta dijelaskan mengapa mereka tersenyum-senyum terus, Monang•Siahaan mengaku bahwa dirinya adalah kemenakan bapak saya. Dengan kata lain, puteri J. Tambunan merupakan sejodohnya. "Tapi," sambung Monang, "kalau memang D.I Pandjaitan ada niat, tak ada persoalan sama sekali, karena adik adiknya masih ada." Ketika mereka tiba di rumah kami, kebetulan saya dan adik-adik sedang berada di depan rumah. Saya kenali mereka itu pemuda-pemuda murid MULO dulu, dan ada hubungan keluarga dengan kami. Hanya seorang di antaranya belum pernah saya lihat. Monang segera memperkenalkan pemuda yang memakai pantalon dan kemeja lengan pendek itu. Sesuai dengan perawakannya, sikapnya tampak sigap. Ia mengulurkan tangan, dan sambil menjabat tangan saya memperkenalkan diri: "Pandjaitan". "Marieke boru Tambunan," jawab saya.

Tamu-tamu itu saya persilakan masuk dan bertemu dengan orang tua. Selanjutnya terjadilah percakapan yang akrab. Kemudian tahulah saya bahwa pemuda yang bernama Donald lsac Pandjaitan itu seorang komandan batalyon, dan tempat tugasnya di Pekan Baru. Saat itulah saya baru tahu bahwa ia tentara. Selama beberapa hari berada di Tarutung, ia sering datang ke rumah saya. Juga pemah berkirim surat melalui Gunung Manurung. Dalam pada itu ada surat dari Kolonel Sitompul kepada Victor Tambunan tentang maksud Pandjaitan hendak meminang saya. lsi surat itu kemudian disampaikan kepada Bapak.

Begitu diberi tahu tentang isi surat itu Bapak merasa kurang jelas akan maksudnya. Pandjaitan yang merasa gundah segera menemui Letnan Kolonel Sinambela sebagai satu-satunya tumpuan harapannya. Masalah yang sebenamya barulah diketahui, karena menurut kebiasaan adat Batak, kedatangan Pandjaitan dianggap terlalu mendadak, lagi pula baru saja berkenalan, belum mengetahui keluarga dan asal usulnya. Karena itu Sinambela menasihati agar menghubungi keluarga terdekat, yaitu T.D. Pardede, kemenakan Bapak yang tinggal di Balige. Kebetulan kemenakan Bapak ini merupakan kenalan baik dan sering bertemu di Pekan Baru. Dengan senang hati Pardede bersedia menemui Bapak di Tarutung. Tetapi lagi-lagi, usaha itu tidak berhasil.

Karena melihat semua pembicaraan dan upaya selalu menemui jalan buntu, ibu saya berusaha mencari jalan baru yang sesuai dengan tatacara kekerabatan adat Batak. lbu berniat menemui abang Bapak, yaitu Frederik Tambunan, yang bertempat tinggal di Tambunan Lumban Gaol, Balige. Maka ke sanalah lbu dan saya. Di depan Paman diuraikan persoalannya secara rinci agardijadikan pertimbangan. Pandjaitan juga dipesan oleh Ibu supaya menyusul agar dapat bertemu muka dengan Paman Frederik.

Dengan segala senang hati Paman Frederik bersedia membicarakan soal lamaran itu dengan bapak saya. Berangkatlah Paman bersama kami pulang ke Tarutung. Pandjaitan juga menyusul hendak memantau hasil pembicaraan itu, apalagi ia dalam keadaan harap-harap cemas. Kedatangan Paman Frederik di rumah kami mendapat sambutan yang hangat. Makan malam dihidangkan. Seusai santap itulah merupakan saat yang dianggap paling tepat oleh Paman Frederik untuk membicarakan masalah lamaran dengan Bapak. • Paman mula-mula menanyakan masalah itu dengan Bapak. Selanjutnya Paman memberikan berbagai alasan dan pertimbangan yang pantas, bahwa Pandjaitan dapat diterima sebagai calon menantu. Tanya-jawab dan perbincangan berlangsung terus, dan lbu secara lemah-lembut ikut memberikan pendapat. Selanjutnya saya dipanggil agar duduk di depan ketiganya. Bapak bertanya, apakah saya tahu siapa Donald lsac Pandjaitan.

Saya menjawab: "Saya tahu dan mengenalnya sejak beberapa hari yang lalu, tetapi teman-teman sekolahnya yang juga dekat dengan saya semuanya mengatakan bahwa Pandjaitan orang yang baik dan beriman." Akhirnya Bapakberkata: "Baik, terserah engkaulah, karena ia sudah menjadi pilihanmu. Bolehlah, saya menyetujui, tetapi ia harus bertemu dulu dengan saya."
Ia segera dipanggil dari rumah Letnan Kolonel Sinambela. Didepan Bapak, ia menerima berbagai nasihat dan pedoman berkeluarga. Saya juga dipanggil mendekat, diberi tahu tentang persetujuan Bapak terhadap lamarannya. Bapak mensyaratkan agar dilakukan pertunangan dulu selama enam bulan. Pandjaitan dengan terharu mengucapkan terima kasih, sekalian minta diri hendak kembali ke tempat tugas di Pekan Baru. Berita gembira tentang rencana pertunangan saya disampaikan kepada kakak dan ipar, Julia boru Pandjaitan dan T.H. Naiborhu, serta kepada kerabat dekat Pandjaitan di Lumbantor.

Selanjutnya hubungan surat dan kiriman foto antara ia dan saya berlangsung terus. Letnan T.D. Pardede juga berperan membantu karena sering bepergian bolak-balik Balige-Sibolga-Pekan Baru dalam pelaksanaan perdagangan barter dengan Resimen IV. Saya dan Pandjaitan dapat menitipkan sesuatu pada Letnan Pardede. Untuk memenuhi permintaan Bapak agar pertunangan resmi baru dilakukan enam bulan sesudah persetujuan diberikan, dirasa oleh Pandjaitan terlalu lama dan berat. Tugasnya sebagai komandan pertahanan kota sangat memerlukan pendamping. Juga kaum kerabat sudah mendesak agar pertunangan segera diresmikan. Maka dengan segala kerendahan hati ia menyampaikan kepada Bapak surat lamaran dan rencana perkawinan.

Dengan senang hati Bapak menyetujuinya. Keluarga calon tunangan saya berangkat ke Tarutung, untuk marhusip, meminang. Maka di rumah kami diadakan pertemuan dan pembicaraan. Secara mufakat akhimya ditentukan bahwa martuppol, tukar cincin, diadakan tanggal 20 Agustus 1946, dan pamasu-masuon, perkawinan, tanggal 3 September 1946.

*

Setelah upacara pertunangan dilakukan secara resmi, semua rencana untuk upacara perkawinan dan pemberkatan dipersiapkan. Setelah siap semua, pada tangga1 16 Agustus 1946 atau 18 hari sebelum perkawinan, berangkatlah tunangan saya dari Pekan Baru ke Tapanuli. Ia didampingi oleh Letnan Pardede naik mobil dinas, Chevrolet 1940 berwama biru muda, disertai sopir dari keluarga Pane. Peserta lain ialah Sersan Mayor Haro Rajagukguk, naik Chevrolet 1941 bersama sopir bermarga Harahap. Truk itu sengaja dibawa sebagai pengangkut alat-alat untuk perkawinan.

Pandjaitan singgah dulu di Bukit Tinggi karena ada urusan yang harus dibicarakan di markas Divisi IX Banten, sedangkan truk langsung menuju Tapanuli. Tetapi truk itu temyata tidak laju larinya; di dekat perbatasan Tapanuli dan Sumatera Barat, tepat pada kelokan, tersusul oleh mobil Pandjaitan. Kedua kendaraan itu berhenti. Sersan Mayor Rajagukguk mengatakan bahwa untuk dapat melewati pos perbatasan di Lubuk Sikaping nanti mungkin ada kesulitan. Penjagaan Polisi Tentara (PT) sangat ketat. Untuk mengatasi soal itu Letnan Pardede punya akal. Sersan Mayor Rajagukguk harus dinaikkan pangkatnya, katanya. Maka dikeluarkanlah dari tasnya sepasang tanda pangkat Letnan Muda, berbentuk jajaran genjang dengan warna dasar biru, bergaris 3, tanpa bintang. Ia minta izin kepada Pandjaitan untuk melantik Haro Rajagukguk menjadi Letnan Muda. Tanda pangkat baru itu disematkan pada sudut kerah kiri dan kanan mantel letnan muda baru itu . Waktu itu Rajagukguk juga menggantungkan pistol di pinggang serta menyandang pistol mitralyur Thompson. Perjalanan dilanjutkan. Lagi-lagi truk tidak gesit larinya; bukan saja lambat malahan mengalami kerusakan di Kotanopan. Dua hari diperlukan untuk memperbaikinya. Adapun mobil tunangan saya sudah tiba terlebih dulu di Sigompulon, Tarutung.

Truk baru tiba di Tarutung tanggal 20 Agustus pukul sepuluh malam. Saat itu di Sigompulon sedang berlangsung pesta muda-mudi untuk meramaikan pertunangan kami. Banyak sekali yang hadir; di antara perwira-perwira berseragam hadir antara lain mayor Maraden Panggabean dan Mayor Sarumpaet. Haro Rajagukguk langsung masuk ke dalam rumah, dengan sikap dan suara lantang melapor kepada tunangan saya. Di kemudian hari Rajagukguk mengatakan kepada kami bahwa sikapnya yang sempurna waktu melapor itu karena ingin menunjukkan disiplin dan kepatuhan anggota Batalyon Pandjaitan dan Resimen IV Riau di mata para perwira Tapanuli. "Tentu menjadi kebanggaan komandan saya, Mayor Pandjaitan," tegasnya.

Memang tunangan saya menerima laporan itu-sambil berdiri juga, lalu memerintahkan agar perjalanan Rajagukguk diteruskan ke Balige. Rajagukguk memberi hormat, menyatakan kesiap siagaannya menjalankan perintah dan tugas, balik kanan, lalu keluar ruangan. Hari itu tanggal20 Agustus1946 memang telah dilakukan martuppol, upacara tukar cincin, di Gereja Pearaja, Tarutung. Keluarga saya dan keluarga Pandjaitan hadir, begitu para perwira, termasuk abang saya Letnan Frits Tambunan dan sepupu saya Victor Tambunan. Upacara dipimpin oleh Pendeta; kami mengucapkan janji pertunangan, dan menandatangani naskah janji tersebut. Saksi dari pihak keluarga saya dan keluarga Pandjaitan juga membubuhkan tanda tangan.

klik untuk Bersambung