* Mantra dan botol air panas
* Rencana Operasi: jika musuh menyerang
* Mengepalai Bagian IV Komando Sumatera
* Semalam terjebak di tengah hutan
* Rencana Operasi: jika musuh menyerang
* Mengepalai Bagian IV Komando Sumatera
Sesuai dengan instruksi pemerintah pusat agar dilakukan
Rekonstruksi dan Rasionalisasi, atau yang sering disebut sebagai Re-Ra,
terhitung tanggal 5 Mei 1947 Resimen IV pun bersiap-siap melaksanakannya. Pangkat-pangkat
perwira juga diturunkan satu tingkat semua. Selain itu perubahan nama TRI
menjadi TNI (Tentara Nasiorial Indonesia) juga dapat dilaksanakan pada
pertengahan tahun 1947, karena memerlukan waktu terlebih dahulu untuk
menggabungkan laskarldskar Jdn bauan-bdJan perjuangan rakyat ke dalam satu
tentara nasional, yaitu TNI. Dalam hubungan itu Komandemen Sumatera menentukan
susunan satuan TNI untuk daerah Riau menjadi dua Resimen, yaitu Resimen IV/
Riau Utara, bermarkas di Pekan Baru, meliputi Kabupaten Kampar dan Bengkalis;
dan Resimen V yang bermarkas di Rengat, meliputi Kabupaten lnderagiri, ditambah
dengan 44 l(ewedanaan Pelalawan yang terletak di daerah Kampar. Dalam susunan
baru itu suami saya diangkat menjadi Kepala Staf Resimen IV. Adapun komandan
resimen ini adalah Letnan Kolonel Hassan Basri.
Dalam pada itu saya telah hamil tua; dokter memperkirakan
bayi akan lahir pada minggu pertama bulan Juli 1947. Benar juga, pagi-pagi tanggal
8 Juli saya n1erasa mual-mual, dan semua orang-orang tua mengatakan sudah
waktunya bayi akan lahir. Tetapi doktersaatitu tidak ada di tempat tugasnya di
rumah sakit ataupun di rumahnya. Akhimya bidanlah yang kami percaya agar
n1embantu persalinan. Suami saya terus berada dirumah, dan persalinanpun
dipersiapkandi rumah dengan tergesa-gesa. Bidan yangakan menolongkami ialah
boruSilitonga, isteri Letnan K. Simanjuntak, Kepala Kesehatan Batalyon l.
Sebagai bidan ia sudah berpengalarnan. Narnun kelahiran bayi agak sulit,
rnungkin karena kelahiran anak pertama. Suami saya tampak gelisah; sudah tiga
jam menunggu namun bayi belum lahir juga.
Kebetulan di rumah ada tamu Kopral Domitian Pandjaitan. Ia
anak pak tua Pandjaitan. Melihat suami saya makin gelisah, Domitian thengambil
sebuah botol. Diisikannya air panas hampir penuh, lalu • ditutup rapat. la
mengucapkan mantera, lantas botol itu dilemparkan ke dinding kamar
tempat saya berbaring. Terdengar letupan botol yang p"ecah, dan beberapa
saat kemudian lahirlah bayi saya diiringi tangisnya' yang pertama.
Bidan keluar sebentar dari kamar, memberi tahu bahwa bavi
itu per~mpuan dan lahir dengan selamat. Semua yang menerima berita bahagia itu
merasa lega dan gembira. "Horas," seru mereka.
Suami saya rnemberi nama anaknya: Katherin, sedangkan
kakeknya memberi nama Batak: Humala Marhasak. Makna Marhasak ialah menggelombang.
Sejak itu sava menyebut dan memanggil suami saya dengan
Papah atau Bapak, dan ia memanggil saya Mamah (Mama). Kata panggilan diantara kami
berdua memang berubah; dulu waktu kami tunangan, ia menyapa saya: "Horas,
Ito..." Dan saya pun menyapanya dengan: "Horas, Ito..." Adapun
kawan-kawannya secara umtt>menyapanya dengan: "Hei, D.l. atau
"Hei, Pandjaitan..."
*
Dua pekan kemudian, tepatnya tanggal 21 Juli 1947, Belanda
secara licik melanggar perjanjian gencatan senjata dan melancarkan serangan militer
ke daerah Republik. Diduga selanjutnya, arah serangan itu akan tertuju ke
kota-kota di daerah Riau Daratan. Komando Resimen IV cepat menyiapkan pasukan
untuk menangkis serangan, karena Belanda mulai menembaki kota-kota pantai
Bengkalis, Selat Panjang, dan Kuala Sungai Siak. Tembakan yang mereka lancarkan
dengan meriam dari kapal perang cukup gencar. Oi Kuala Sungai Siak pasukan kita
rnembalasnya dengan tembakan meriamjuga agar musuh tidak herani mendekati
pantai. Benar juga, Belanda tidak berani rnendekat.
Penduduk di kota-kota Riau Daratan rnengalami kegelisahan
dan kekhawatiran, kalau-kalau Belanda hendak rnenduduki kota-kota, termasuk
Pekan Baru.
Agar lebih tenang menjalankan tugasnya yang berat, suami
saya mengungsikan saya dan Katherin yang belum berumur satu bulan itu ke
Bangkinang. "Mamah harus mengungsi karena Bapak mau berperang,"
katanya. Hanya dengan supir Hutagalung saya dan Katherin naik mobil menuju
tempat pengungsian. Malang betul, tiba di tengah hutan mesin mobil kami rusak.
Tak ada kendaraan lain yang lewat. Menjelangsore usaha memperbaiki mobilitu
belumselesaijuga. Oari kejauhan tampakharimau berkeliaran. Sambi!mendekap
Katherin saya berdoa di dalam mobil.
Malam pun turun. Suasana hutan lebat di kanan-kiri jalan
sangat menyeramkan. Sekali-sekali terdengar aum harirnau di kejauhan. Jangan-jangan
harimau mengendap-endap di sekelililng mobil. Supir Hutagalung punya akal; ia
mencari kayu-kayu kering, lalu dibakar menjadi api unggun. "Harimau tak
akan mendekat," katanya membesarkan hati saya.
Semalam suntuk kami terjebak dalam mobil di tengah hutan
yang sunyi dan gelap pekat. Namun doa saya dikabulkan Tuhan. Kami selamat.
Keesokan paginya mobil selesai diperbaiki, sehingga kami dapat melanjutkan
perjalanan ke Bangkinang.
Temyata hanya beberapa hari kami tinggal di sana. Karena
Pekan Baru tidak jadi diserang musuh, dan kami kembali pulang.
Pelanggaran Belanda atas Persetujuan Linggarjati semakin memperkuatkewaspadaan
Resimen IV. Untuk menyusun garis-garis pertahanan agar terpadu dan makin kokoh,
Komandan Resimen IV meminta kepada suami saya supaya menyusun Rencana Operasi, yang
disesuaikan dengan Rencana Operasi dari Komandemen Sumatera. Pada dasarnya
Komandemen Sumatera membuat kesimpulan bahwajika sewaktu-waktu Belanda
melakukan serangan ke Riau, besar kemungkinan tidak melalui wilayah Sumatera
Barat, karena di wilayah itu terdapat empat resimen TNI, sedangkan keadaan
medan sepanjang Bukit Barisan sangat menguntungkan bagi pertahanan TNI.
Berhari-hari siang-malam suami saya memikirkan strategi pertahanan
yang sebaik mungkin bagi Resimen IV dengan memperhitungkan keadaan medan di
Riau Daratan. Berdasarkan pemikiran itu yang dituangkan dalam Renop (Rencana
Operasi), basis Kcmando Resimen IV akan ditempatkan di Muara Mahat, Kampar, kota
kecamatan yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Rencana itu berdasarkan dugaan
yang kuat bahwa Pekan Baru dapat diserang musuh dari udara dan laut. Musuh
diperkirakan menyerang dari Tanjung Pinang dan Dabo Singkep, yang telah
dijadikan pemusatan militernya di Kepulauan Riau. Suami saya melihat bahwa
Muara Mahat sangat strategis buat pertahanan, selain letaknya di celah gugusan
Bukit Barisan, juga mempunyai jalan-jalan penghubung ke daerah pedalaman Riau Utara
dan Selatan, dengan poros Pasir Pangarayan, Rokan, Muara Mahat dan Bangkinang
di utara, dan Lipat Kain, Teluk Kuantan, dan Air Molek di selatan. Daerah di
sekitar kota-kota kecamatan itu merupakan lumbung padi, sehingga amat
menguntungkan bagi pangkalan gerilya. Adapun Rokan dan Pasir Pangarayan
dijadikan cadangan basis pertahanan hila terjadi pengunduran garis pertahanan.
Rencana Operasi itu selesai disusun suamisaya - ingatsaya
dalam bulan September 1947 - kemudian secara rahasia diadakan rapat khusus
Komando dan Staf untuk membahasnya. Rapat itu sengaja diadakan di
IstanaSultanSiak Inderapura selama dua hari, tak lain tak bukan untuk menjaga
kerahasiaannya. Istana Sultan Siak ini memberikan
kenangan khusus bagi suami saya, karena pemah diterirna oleh Sultan dan
permaisuri di sana kira-kiraempat tahun sebelumnya ketika masih bekerja pada A
taka. Pernah suamisaya bercerita kepada saya, bahwa dalam pertemuan dahulu itu
Sultan Siak menyinggung soal keturunan dan nenek-moyang mereka, yang ada
hubungannya dengan nenek-moyang suamisaya.
Dalam rapat khusus Komando Resimen IV itu Rencana
Operasihasil susunan suami saya selaku Kepala Staf disetujui dan diputuskan n1enjadi
lnstruksi Operasi No. 1/1947. lnstruksi ini dijadikan dokumen, dimasukkan dalam
amplop dan dilak, selanjutnya dibagikan kepada Komandan-komandan Batalyon. Dokumen
instruksi ini baru·boleh dibuka jika Belanda tiba-tiba menyerang, atau atas
perintah Komandan Resimen IV, atau jika berhalangan, atas perintah Kepala
StafResimen IV.