eBook 8-1 Hutan Rawan Bukit Barisan

Hutan Rawan Bukit Barisan

* Wanita rela menyumbangkan perhiasan

* Natal 1948: tugas dari negara dan Tuhan

* Sumur Secupak, tak kering, tak tumpah

* Kepada siapa hormat kemiliteran itu?

Sehari menjelang hari Natal 1948, tepatnya tanggal 24 Desember 1948 pukul 06.25 pagi, suami saya bertolak ke daerah Riau. Empat peserta nya ialah Letnan Pieter Simorangkir, Letnan Sumihar Siagian, Sersan Mayor G.G. Simamora, dan Bustami - wali negeri Rao - sebagai penunjuk jalan. Mereka berlima menelusuri jalan tikus, memasuki rimba raya di lereng-lereng Bukit Barisan. Bustami yang mengenal wilayah gawat itu berjalan di depan.
Sebagai pengusir Ielah dan kebosanan, Bustarmi bercerita tentang keadaan hutan yang mereka susupi itu, juga tentang kampong kampung yang akan dilalui serta adat kebiasaan penduduknya. Tak ketinggalan disisipkan dongeng-dongeng dan berbagai pantangan yang dipercaya oleh penduduk setempat.

Jalan yang mereka tempuh terkadang amat gelap, karena di kedua sisi pohon-pohon besar dan liar bertambah lebat, diselingi oleh pohonpohon bersulur dengan akar-akarnya yang subur dan menghadang jalan. Tumbuh-tumbuhan yang menjalar dan merambat, dengan ranting-ranting yang berjulai-julai dan lentur, makin menggelapkan pemandangan. Tampak pula di sana-sini bunga-bunga liar, mumi dan berwama-wami. Daun-daun kering yang bertebaran dan berserakan temyata begitu tebal dan basah serta lembab, merupakan lapisan pupuk yang menyuburkan rimba belantara. Di beberapa tempat batang-batang pohon tua yang tumbang malang melintang menghalang jalan. Bermacam-macam bau tercium: bau tanah basah, bau kembang-kembang liar yang sedang mekar, bau daun-daun yang sudah rontok dan membusuk setelah berbulan-bulan teronggok-onggokdan tersiram hujan, dan bau ilalang yang sudah rubuh di tanah lembab terselimut embun.Beraneka ragam bunyi terdengar pula dalam rimpa: kicau burung, kerosak daun-daun yang bergesek-gesek tertiup angin, keretak dahan-dahan kering yang patah, dan dengung kumbang dan lebah yang mencari madu.
Sering suamisaya menceritakan pengalamannya dalam perjalanan berat menerobos rimba raya itu. Walaupun sering terpesona oleh keaslian alam hutan yang murni, namun tak kurang bahaya yang setiap saat dapat mengancam. Binatang liar seperti harimau dan ular menghuni belukar. Sekali-sekali suami saya teringat akan saya dan anak-anak yang ditinggalkan, kemudian berdoa dalam hati memohonkan keselamatan kami.

Suasana dalam hutan yang gelap menjadi terang lagi manakala perjalanan melalui ladang dan perkampungan. Langit tampak di atas, dan sinar matahari menghangatkan bumi.
Setelah lima jam menerobos hutan, menuruni lembah dan mendaki bukit, perjalanan sudah mendekati perkampungan. Mungkin karena mendengar dongeng dari Bustami yang menarik dan disisipi lelucon, penat dan letih pun tidak terasa. Tetapi kesadaran menjalankan tugaslah yang mungkin menyisihkan segala rasa capek dan Ielah.

Barangkali Bustami ingin membuat kejutan, ia sengaja tidak memberi tahu suami saya bahwa setelah melewati kelokan tak lama kemudian akan tampak sebuah perkampungan. Maka begitu melihat kampung di kejauhan, suami saya tiba-tiba bertanya kepada Bustami yang melangkah agakjauh di depan. Sambil menoleh wali negeri yang menjadi pemandu itu menjawab: "Kampung Pintu Padang."
"Kita menuju arah sana," sambungnya sambil menunjuk arah yang harus diikuti. Maka setelah memasuki kampung itu, ia mengajak suami saya dan para peserta menuju sebuah rumah, yang kelihatannya paling baik di kampung Pintu Padang. Para penghuni kampung tampak keheran-heranan kedatangan rombongan tentara. Mereka menatap setiap anggota rombongan suami saya. Setiba di rumah yang dituju, tuan rumah pun terkejut, natnun segera menyambut Bustami dan rombongan dengan hangat dan gembira. Temyata tuan rumah adalah kerabat Bustami, namanya Marah Kulan. Selain orang yang berada ia juga paling dihormati di kampung itu.

Para pendatang disilakan menaiki rumah, dan tak lama kemudian rumah itu dipenuhi oleh penduduk kampung yang ingin mengetahui dan melihat rombongan tentara. Bustami memperkenalkan suami saya dan rombongannya, sedangkan Marah Kulan memperkenalkan pemuka-pemuka masyarakat kampung Pintu Padang.

Dengan kalimat-kalimat yang jelas, suami saya berbicara di depan mereka, menerangkan keadaan negara yang sedang terancam bahaya. Mula-mula diterangkan bahwa Belanda telah melanggar persetujuan Renville dan persetujuan gencatan senjata, lalu menyerang dan menduduki kota-kota besar, termasuk Yogyakarta dan Bukit Tinggi.

Memang kita sengaja mengosongkan kota-kota itu karena kekurangan senjata. Namun selanjutnya kita akan melakukan perang gerilya. Kita memancing musuh agar terpencar-pencar, selanjutnya kita menyerang pada saat-saat yang tidak terduga. Kita akan menyerang secara kucing-kucingan terus menerus. Dengan demikian lama-lama musuh akan melemah, sedangkan pasukan kita tetap kuat karena berpangkalan di desa-desa bersama rakyat. Karena itu bukan saja TNl, namun seluruh rakyat ikut berjuang sesuai dengan tugas masingmasing, agar musuh terusir dan kita dapat mencapai kemerdekaan negara seutuhnya.

Diterangkan selanjutnya, bagi mereka yang tidak memanggul senjata, dapat menyiapkan makanan dan mengirimkannya ke garis depan. Semua sumbangan baik berupa bahan makanan maupun tenaga, berarti bantuan yang sangat berharga bagi perjuangan melawan penjajah Belanda. Dan semua perlawanan terhadap musuh diatur oleh Komando Sumatera.
Selain mengucapkan terima kasih atas sambutan dan bantuan rakyat bagi perjuangan bangsa, suami saya juga minta diri untuk melanjutkan perjalanan memenuhi tugas.
Tiba-tiba seorang ibu yang hadir di rumah itu mengemukakan saran agar semua wanita menyumbangkan perhiasan miliknya, apakah gelang atau kalung atau cincin dan sebagainya kepada negara. Hasil penjualan emas dan intan itu dapat dibelikan senjata.

Suami saya sangat bangga dan besar hati menyaksikan keikhlasan yang begitu besar demi kemenangan perjuangan bangsa. "Saya terharu dan menyetujui saran lbu, hanya saja saatnya belum tiba. Namun bila pada akhirnya negara memerlukan, kita harus merelakan semua hak milik kita, jiwa dan raga, bagi kemerdekaan," ucap suami saya.

Ternyata wanita yang mengemukakan saran itu adalah isteri Marah Kulan.
Rombongan dari Komando Sumatera itu dijamu makan siang. Dan setelah tiba saatnya, rombongan pun minta diri hendak melanjutkan perjalanan.

Bustami terus berjalan di depan memandu perjalanan. Tujuan selanjutnya desa Rumbai, yang berjarak kira-kira 36 kilometer. Adapun desa Pintu Padang terletakdi pertengahan jalan antara Rao dan Rumbai. Selepas dari kampung Pintu Padang perjalanan langsung masuk hutan, lalu mendaki lereng bukit dan menuruni jurang beberapa kali. Bustami kelihatan melangkah lebih cepat, sebab belum sampai lima jam rombongan sudah tiba di desa Rumbai.
Bustami mengajak rombongan singgah di sebuah kedai. Bangunan itu bertingkat, di bawah untuk tempat makan, diatas untuk menginap. Rombongan pun naik ke tingkat atas, lalu Bustami  mempersilahkan beristirahat.

Tidak lama kemudian datanglah wali negeri Rumbai. Setelah ia berkenalan dengan rombongan Komando Sumatera, ia mengajak tamu- tamunya menginap di rumahnya. Tetapi Bustami hanya dapat mengucapkan terima kasih karena rencananya semulamemanghendak menginap di warung itu. Suami saya pun mengucapkan terima kasih atas undangan yang ramah tersebut.
Setelah minum untuk melepas haus, suami saya dan para pesertanya turun mandi di sebuah sungai kecil yang mengalirdi samping warung. Air jemih sungai itu sempat menyegarkan badan, tetapi setelah makan malam rasa kantuk pun tak terelakkan oleh Bustami. Ia langsung tidur.
*
Malam itu tanggal 24 menjelang tanggal 25 Desember 1948: Malam Natal. Setelah berbaring-baring hingga pukul20.15, suami saya belum tidur juga. Ketika teman-temannya sambil berbaring masih mengenang perjalanannya hari itu yang menerobos hutan lebat, suami saya justru bangkit, lalu duduk dan membuka tasnya. Dari dalam tas dikeluarkanlah dua buah buku bersampul hitam: yang sebuah buku lnjil dan sebuah lagi buku Nyanyian Rohani.
"Gentlemen," kata suami saya, pandangannya menatap Letnan Sumihar Siagian, Letnan Pieter Simorangkir dan Sersan Mayor G.G. Simamora yang ketiga-tiganya sedang berbaring-baring. Adapun Bustami sudah tertidur pulas.

Mendengar panggilan itu ketiganya duduk dan menatap suami saya.
"Everything can happen according to the blessing of the almighty God," sambung suami saya. Semua bisa terjadi menurut kehendak Tuhan. Dengan suara tenang ia melanjutkan kata-katanya: "Tidak seorang pun di antara kita yang menduga akan sampai di tempat ini. Hal ini disebabkan oleh panggilan tugas. Justru inilah yang saya sebutsebagai kehendak Tuhan . Kita jauh dari keluarga, kerabat dan gereja kita. Dan malam ini adalah kelahiran Tuhan Yesus, juru selamat kita manusia. Untuk memuliakan nama-Nya bukan hanya dapat dilakukan dalam gereja, tetapi di mana pun tempat kita berada. Bersyukurlah dalam hati, dan mari kita menyanyi."

Ia memimpin menyanyi, pelan-pelan dilantunkan:

Malam Kudus, sunyi senyap
Bintang-Mu gemerlap
]uru Selamat manusia
Ada datang di dunia
Kristus anak Daud, Kristus anak Daud

Anak Kecil, Anak Kudus
Tuhanku penebus
Tentram surga menyanyi merdu
Bawa kabar kedatangan-Mu
Kristus anak Daud, Kristus anak Daud

Malam Kudus, sunyi senyap
Bintang-Mu gemerlap
Aku datang, ya Tuhanku
Bersembahyang di kandang-Mu
Dan mengucap syukur, dan mengucap syukur

la menutupnya dengan doa, dan selanjutnya saling bersalaman.

Mungkinkah Bustami juga mendengar bahkan menyaksikan perayaan Natal oleh keempat orang prajurit beragama Kristen yang dipimpin oleh suami saya? Mungkin saja, dan kalau memang demikian, Bustami orang yang toleran terhadap sesama makhluk Tuhan.
Perayaan Natal 1948 yang dilakukan di desa kecil yang dikelilingi oleh hutan belantara itu sungguh amat terkesan di hati suami saya. la selalu ingat peristiwa yang sangat mengharukan itu. Ia dapat melakukan kewajiban terhadap negara dan sekaligus terhadap Tuhan. Hariyang suci itu dialaminya selagi bangsa dan negara dalam ancaman penjajahan, apalagi isteri dan anak-anak yang masih kecil tengah dalam pengungsian.

Pagi-pagi tanggal 25 Desember rombongan dari Komando Sumatera itu sudah dibangunkan oleh pemilik warung. Mereka sarapan dan kira kira pukul 6.20 berangkat menuju Riau.
Badan terasa lebih segar setelah beristirahat semalam, tetapi temyata jalan yang ditempuh lebih sukar, karena harus melewati puncak-puncak Bukit Barisan. Pohon yang tinggi-tinggi dan berdaun lebat membuat suasana menjadi suram dan seram, dan kabut pun meliput. Sinar matahari pagi seakan-akan tak kuasa menerobos tebalnya dedaunan hutan raya. Bustami meminta agar jarak antara peserta rombongan itu lebih rapat, tidak boleh lebih jauh dari tiga meter selagi menempuh jalan setapak di lereng-lereng bukit yang berselimutkan hutan tebal.

Jalan setapak yang licin itu terkadang terhalang oleh batang pohon yang tumbang, sehingga suami saya dan rombongannya harus hati-hati melangkahinya. Dan ketika perjalanan itu tiba di sebuah puncak, Bustami memberi nasihat yang harus diturut, yaitu tidak boleh bersungut-sungut, bersiul atau tertawa-tawa, karena tempat itu angker.
-------------
(klik disini untuk ke selanjutnya)