eBook 9-1 Peranan Pusat Perbekalan

IX. PERANAN- PUSAT PERBEKALAN

* Mengapa candu diamankan?

* Merintis jalur-jalur penyelundupan

* Kisah Cu Sang dan Sui Cu

* Diselamatkan Nenek Almarhum

Ketika Komando Tentara dan Teritorium Sumatera (TTS) mengosongkan Bukit Tinggi tanggal 19 Desember 1948, candu yang semula dibawa oleh rombongan Wakil Presiden Hatta untuk keperluan perjuangan gerilya di Sumatera dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), berhasil diselamatkan pula oleh suami saya selaku Kepala Staf Umum IV/Suplai. Agar penyediaan perbekalan dapat terlaksana secara teratur, Panglima TTS Kolonel Hidayat dan Ketua PDRI Mr. Syafruddin Prawiranegara pada tanggal 10 Januari 1949 membentuk Dewan Pimpinan Pusat Perbekalan dan Perlengkapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (P3 PDRI), yang mulai berlaku pada tanggallS Januari 1949. Nama itu selanjutnya diubah menjadi Pusat Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik 84 Indonesia, dengan singkatan yang sama P3 PDRI. Dalam P3 PDRI ini suarni saya ditunjuk sebagai Ketua, Mr. Zainal Zinur sebagai Wakil Ketua, dan Letnan Zulkifli Nasution sebagai Sekretaris.

Pembentukan P3 PDRI memang sesuai dengan rencana semula dan erat hubungannya dengan laporan suami saya selesai melakukan persiapan dan penjelajahan ke pedalaman Riau selama seminggu, antara tanggal24 Desember hingga 30 Oesember 1948. PDRI pada tanggal 19 Oesember 1948 telah meninggalkan Bukit Tinggi untuk mengungsi ke Halaban, selanjutnya pindah ke Bangkinang di Riau Utara, kemudian pindah lagi kewilayah Sumatera Barat melalui Kiliranjao menuju Sungai Dareh dan Sungai Penuh. Walaupun terpisah namun hubungan antara PDRI dan Komando TTS tidak pernah terputus, karena pemancar radio selalu menghubungkannya. Setelah P3 PDRI terbentuk, Panglima Sumatera memerintahkan kepada Mr. Zainal Zinur dan Letnan Zuikifli Nasution supaya memindahkan pusat P3 PDRI ke Pintu Padang. Suami saya memang sudah mendahului berangkat ke Riau Utara sehari sebelumnya.

Salah satu tugas penting dalam P3 PDRI ialah pengamanan candu, sehingga diperlukan 20 orang petugas dari Detasemen Komando TTS. Pemindahan candu dari Rao ke Pintu Padang diatur oleh Kapten Christoffel Sihombing dan Bustami, wali negeri Rao. Adapun penempatannya di Pintu Padang diurus oleh Marah Kulan, wali negeri setempat.

Pengangkutan candu ke Pintu Padang menggunakan kuda. Sebelumnya, untuk memudahkan pengangkutan, peti candu yang terbuat dari pelat baja harus dipecah dengan kampak, yang temyata amat sulit. Setelah dikeluarkan dari peti, candu itu dibungkus dengan tikar dalam kemasan-kemasan yang lebih kecil, masing-masing seberat 10 kilogram. Pengemasan ini diawasi langsungoleh Kapten Christoffel Sihombing dan semua anggota pengawal.

Meski pengemasan itu dilakukan dengan teliti sekali, ternyata setelah ditimbang kembali kurang satu kilogram. Penyelidikan pun dilakukan, dan terbukti seorang pekerja bernama Karso telah 85 mencurinya. Karso mengembalikan candu curiannya itu, tetapi selanjutnya ia menggantung diri. Mungkin karena sangatketakutan.

*

Pagi-pagi sekali tanggal 14 Januari suami saya bersama Letnan Pieter Simorangkir dan Sersan Mayor G. Simamora berangkat menuju Riau, namun kali ini tujuannya bukan ke Pasir Pangarayan, tetapi ke Rokan, di tepi Sungai Rokan Kiri. Perjalanan ini sangat dirahasiakan karena membawa candu seberat 50 kilogram. Pemikul-pemikulnya pun tidak diberi tahu barang yang dipikulnya.
Kecamatan Rokan ini sudah dijadikan basis gerilya. Pos komandonya sudah dibuka oleh Kepala Staf Teritorium V Mayor Akil Prawiradiredja, dan hubungan radio dengan Komando ITS di Rao berjalan lancar.

Adapun perjalanan suami saya dan pesertanya mula-mula singgah di Pintu Padang, dan setelah makan siang yang disediakan oleh wali negeri Marah Kulan, bertolak lagi. Jalan yang ditempuh adalah jalan yang menuju Rumbai, tetapi di tengah perjalanan membelok ke kanan, langsung menuju Rokan. Jalan inilah yang biasa digunakan oleh pedagang karena lebih dekat untuk mencapai hulu Sungai Rokan Kiri, dan selanjutnya memuatkan dagangannya pada sampan.
Menjelang petang pelayaran sampan yang ditumpangi suami saya dan rombongannya tiba di desa Kubang Buaya, yang letaknya di tepi hulu Sungai Rokan Kiri. Memang sampan hanya berlayar sampai di situ.

Kepala kampung yang ditemui suami saya dengan senang dan bersedia membantu, bahkan meminta agar rombongan bermalam di rumahnya. Pelayaran menuju Rokan di malam hari sangat sukar, kata kepala kampung, karena itu memerlukan persiapan. Ia menjamin esok paginya dapat melanjutkan pelayaran, dan petang harinya akan tiba di tempat tujuan. Jadilah rombongan malam itu menginap di Kubang Buaya.

"Mengapa kampung ini bemarna Kubang Buaya?" tanya suami saya. Menurut cerita Pak Kepala Kampung, dulu ada dukun di situ yang memelihara dua ekor buaya putih. Di tepi sungai itulah kedua ekor buaya itu berkubang. Hingga kini walaupun kedua buaya putih itu tidak ada lagi, orang-orang menamakan kampung itu Kubang Buaya.

Pagi-pagi setelah fajar menyingsing di tepian sungai sudah tersedia sebuah sampan dengan seorang pengemudi dan dua orang pendayung. Sampan itu, kata kepala kampung, mampu mengangkut delapan orang termasuk awak sampan, dan barang seberat 50 kilogram.
Setelah sampan bertolak, barulah suami saya menyadari betapa berbahayanya melayari sungai ini. Banyak jeram dengan batu-batu besar menghadang, dan di beberapa tempat aliran sungai sangat deras.

Cukup mengerikan bagi orang yang baru pertama kali menempuh pelayaran seperti itu, apalagi gerimis turun terus menerus dan mendung bergayutan di langit. Tetapi karena awak sampan sangat terampil mengatasi arus dan kelokan, bahkan menelusup di antara batu-batu besar, hati anggota rombongan tidak gelisah dan was-was.

Benar seperti dijamin oleh kepala kampung Kubang Buaya, pelayaran sulit itu berhasil tiba di kecamatan Rokan, Riau Utara, pukul 17.00 kurang sedikit. Suami saya yang basah kuyup akibat gerimis sepanjang pelayaran turun ke tepian hendak meninjau keadaan. Seorang polisi datang sambil berlari, memberi hormat kepada suami saya. Polisi itu mengatakan dirinya pernah menjadi anggota Batalyon I. Dengan ramah polisi itu memanggil orang-orang agar mengangkut barang bawaan, dan mengantarkan pula ke rumah camat Rokan.

Rumah Camat Tengku Kamarul Zaman itumenjadi markas gerilya Komando Daerah Militer Riau Utara (KDM RU), pimpinan Mayor R. Akil Prawiradiredja. Pak Camat yang juga diangkat menjadi camat militer menjelaskan bahwa rumah itu peninggalan ayahnya yang dulu menjabat sebagai raja Rokan atau zelfbestuurder van Rokan di masa penjajahan Belanda. Pak Camat sengaja pindah dan menyerahkan rumah itu menjadi markas gerilya dan tempat tinggal Mayor Akil dan stafnya. Saat itu Mayor Akil dan stafnya sedangberada di front Rantau Baringin. Pos Belanda yang semula ada di situ sudah direbut kembali oleh pasukan kita, yaitu Mobil Troep II pimpinan Akting Kapten Humala Silalahi. Dengan demikian Rantau Baringin menjadi front kita yang terdepan. Adapun pasukan Belanda berpangkalan di Bangkinang, kira-kira 20 kilometer jaraknya dari garis pertahanan kita.
Malam itu suami saya dan pesertanya bermalarn di markas Komando Daerah Militer Riau Utara tersebut, dan merencanakan esok paginya bertolak ke Rantau Baringin untuk menemui Mayor Akil dan melaporkan tugas khusus dari Panglima Sumatera. Tetapi pagi-pagi ketika hendak berangkat, Mayor Akil tiba dimarkas itu. Keduanya saling berangkulan setelah berpisah di Bukit Tinggi menjelang agresi militer Belanda tanggal 19 Desember 1948. Keduanya merasa bangga dan gembira karena berhasil mengusir Belanda dari Rantau Baringin, dan memutus jalur hubungan antara Riau dan Sumatera Barat sepanjang 40 kilometer. ltulah kemenangan yang makin menebalkan semangat untuk melanjutkan perang gerilya.

Kemenangan mulai dirintis di berbagai front sesuai dengan perhitungan yang termaktub dalam lnstruksi Operasi No. 1/1947yang dirancang oleh suami saya dan disetujui serta disahkan oleh Komando Resimen IV Mayor Hassan Basri, dan yang diberlakukan mulai tanggal 19 Desember 1948.
Dalam pertemuan itu suami saya menjelaskan tugas yang dilakukannya selaku pimpinan P3 PDRI dan atas instruksi Panglima Sumatera, serta persiapan dan pelaksanaan tugas P3 PDRI Dalam pada itu Mayor Akil menjelaskan tugas dan pembagian Komando Riau; Komando Daerah Militer Riau Selatan (KDMRS) yang dipimpin Mayor Hassan Basri dan berkedudukan di Lipat Kain, dan Komando Daerah Militer Riau Utara (KDMRU) yang bermarkas di Rokan itu.
Mayor Akil pun memperkenalkan stafnya yang terdiri dari Kepala Staf Dr. Moegni, Wakil Kepala Staf Kapten Laut A.F. Langkey, Kepala bagian Operasi Letnan P. Hutapea, Kepala Bagian Teritorial Letnan M.U. Sirait, Kepala Bagian Suplai Letnan Wismar Siregar, Kepala Bagian Intel Letnan Cik Mat, Komandan Pos Komando Letnan Raden Priyo, dan dua Staf Khusus, yaitu Letnan Muslim dan Letnan Udara Sukotjo.

Suami saya dan Mayor Akil kemudian mengadakan pembicaraan empat mata. Akhimya keputusan diambil: secara berangsur-angsur dan bertahap P3 PDRI dipindahkan ke Riau Utara, dan Rokan dijadikan pangkalan suplai. Untuk pengamanan dan pengangkutan di daerah Riau Utara, KDMRU yang bertanggungjawab, sedangkan pelaksanaan operasional ditangani langsung oleh P3 PDRI.
Hari itu juga Komandan KOMRU membuat perintah harian kepada semua kon1andan tempur, juga melalui radio telepon, agar P3 PDRI pimpinan suan1i saya dibantu sepenuhnya.

*

Mengenai pembentukan daerah militer Riau menjadi dua, yaitu KDMRU dan KDMRS, padahal semula hanya satu daerah militer di bawah komando Mayor Hassan Basri, suami saya secara bijaksana berusaha agar pelaksanaan pembagian menjadi dua daerah militer itu dapat berlangsung secara baik, tanpa praduga suatu apa. Semua itu demi perjuangan menangkis serangan Belanda yang ingin mengembalikan penjajahannya. Karena itu ketika kurir Komando Basis, Sersan Mayor Arsyid, diutus membawa surat keputusan Panglima Sumatera dari Rokan ke Lipat Kain, suami saya menitipkan surat pribadi kepada Mayor Hassan Basri, yang selain mantan atasannya juga sebagai sahabat dan teman seperjuangannya. Bunyi surat itu sebagai berikut:
"Sesudah Bukit Tinggi jatuh ke tangan Belanda semua menjadi panik, dan rencana mundur pasukan serta basis mana yang akan dituju tidak ada sama sekali. Masing-masing cari jalan sendiri, ditambah secara politis TNl Sumatera Barat tidak dapat menerima Siliwangi dalam kepemimpinan TNI Sumatera, karena itu saya mengajak Kolonel Hidayat sebagai Panglima ke Basis Komando yang sebelumnya telah kita rencanakan melalui Rao.

"Betul juga yang saya maksud, berhasil, dan mendapat sambutan baik dari Kolonel Hidayat atas rencana operasi kita. Di Basis Komando Riau di Rokan, hanya bertemu dengan Kepala Staf Sub Tentorial V Mayor Akil, dan kesempatan digunakan oleh Kolonel Hidayat untuk mengatur kembali struktur Komando Sumatera yang sedikit pun tidak mempunyai rencana, sekalipunsepertiyang telah kita buat sebelumnya untuk Daerah Riau.

"Setelah Panglima Sumatera mempelajari situasi, diambil keputusan seperti yang ditetapkan dalam penetapan Panglima Sumatera. Saya mohon agar Pak Letkol Hassan Basri menerima dengan penuh kesadaran akan keputusan ini demi keselamatan perjuangan kita. Toleransi Bapak Hassan Basri diakui oleh Kolonel Hidayat. Karenanya marilah kita lanjutkan perjuangan mempertahankan Republik Indonesia ini."

*

Setelah pertukaran pikiran berdua dengan Mayor Akil, suami saya sebagai Pimpinan P3 PDRI menetapkan basis pangkalan dan jalur operasi pengangkutan bahan dan barang sebagai berikut: pertama, basis dan pangkalan tetap di Pintu Padang;  kedua, pangkalan transit di Rokan;  ketiga, jalur I (sepanjang Sungai Rokan): Rokan - Lubuk Bendahara- Kota Lama- Rantau Kopar- Sidinginan- Bagansiapi-api; keempat, jalur II (sepanjang Sungai Kampar): Lipat Kain - PelalawanPenyalai; dan kelima, jalur Ill (sepanjang Sungai Siak): Tandan- Tapung - Pekan Baru - Buatan - Siak Sriinderapura - Bengkalis.

Guna melanjutkan tugasnya, pagi-pagi tanggal 18 Januari 1949 suami saya beserta Letnan Pieter Simorangkir dan Sersan Mayor G .G. Simamora hendak bertolak dengan sampan menuju hilir Sungai Rokan. Mayor Akil Prawiradiredja dan Kapten Dr. Moegni mengantarkan sampai Tangkahan.
Di tepian sambil melambaikan tangan dan mengucapkan selamat berjuang, Mayor Akil berseru: "Kapten Pandjaitan, segera kirim besi meteran itu... !"

Gema suara Mayor Akil terbawa oleh aliran Sungai Rokan, dan suami saya yang berdiri diatas sampan di tengah sungai membalasnya dengan lambaian serta janji dalam hati hendak memenuhi tugas dengan sebaik-baiknya. Adapun "besi meteran" yang dimaksudkan itu adalah kata sandi untuk senapan.

Setelah lebih kurang empat jam sampan menghilir, tengah hari rombongan tiba di desa Lubuk Bendahara. Seorang petugas desa mengantarkan rombongan P3 PDRI ke rumah Komandan Pangkalan Gerilya (KPG) Haji Bakrie. Temyata ia sudah menerima telepon pagi itu dari Mayor Akil bahwa Kapten Pandjaitandan rombongannya akan datang. Penjelasan segera diberikan oleh suami saya tentang rencana memanfaatkan Sungai Rokan sebagai sarana dan jalur operasional suplai bahan perbekalan dan persenjataan. Haji Bakrie menjamin bahwa rakyat sepanjang Sungai Rokan akan memberikan bantuan karena sadar akan arti perjuangan melawan penjajah. Juga suku terasing, yaitu suku Kubu, sudah tergalang untuk mendukung perjuangan itu.

Lewat tengah hari rombongan suami saya melanjutkan perjalanan ke Ujung Batu. Kota kecamatan ini sudah ditinggalkan oleh penduduk yang mengungsi karena pesawat terbang Belanda pemah menembakinya secara membabi buta. Hanya ada beberapa pemuda yang menjaga kampung.
Rombongan P3 PDRI menginap di kampong itu untuk mempelajari keadaan di situ dan sekitarnya. Kota kecil itu memang merupakan kota penghubung hila orang menempuh perjalanan dengan mobil antara Pekan Baru dan Pasir Pangarayan, dengan melalui Bangkinang, Rantau Baringin dan Ujung Batu. Seandainya pasukan Belanda bisa menembus pos terdepan kita di Rantau Baringin, kedudukan kota kecamatan ini sangat genting.

Pemuda-pemuda yang berjaga di kampungi tu segera berdatangan menemui suami saya. Mereka mengatakan, jembatan kayu buatan Jepang di atas Sungai Rokan yang menghubungkan Ujung Batu dan Pasir Pangarayan sudah dibakar oleh penduduk. Adapun penduduk yang mengungsi kini tinggal di ladang, sehingga dalam waktu tidak lama dapat dikumpulkan bila ada perintah.
Setelah menginap semalam, suami saya dan rombongan menuju hilir, yaitu Kota Lama. Belum sampai pukul 10.00 mereka sudah tiba di tempat tujuan, karena jaraknya tidak jauh.
Baru saja mereka naik ke darat, datanglah petugas kampung, beberapa anggota Barisan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK), serta beberapa orang polisi. Salah seorang polisi ternyata bekas anggota Batalyon I. Pagi hari itu ada rapat antara Camat Militer Letnan Yunan Lubis dan pemuka-pemuka kampung, membicarakan cara penyediaan makanan untuk pasukan kita di front Bangkinang.
Menjelang tengah hari rombongan P3 PDRI naik sampan lagi melanjutkan pelayaran ke hilir. Desa Muara Nilam disinggahinya sebentar, kemudian menghilir melalui desa Murai, dan petangnya tiba dan menginap di desa Titi Gading.

Bagaikan tak mengenal lelah, esok paginya mereka sudah berlayar lagi ke hilir. Disinggahinya desa Sintang, Bonai dan Sikapas. Barulah petangnya mereka tiba di Rantau Kopar yang terletak pada pertemuan: Sungai Rokan Kiri dan Rokan Kanan. Walaupun di situ hanya terdapat enam buah rumah penduduk namun ada sebuah gudang peninggalan Jepang. Maka kampung itu cukup ramai dikunjungi pedagang dari Rokan Kiri dan Rokan Kanan yang bertemu dengan pedagang dari Bagansiapi-api. Terjadilah pertukaran antara bahan mentah seperti karet dan rotan dengan barang dagangan dari luar negeri seperti kain, rokok, makanan kalengan, dan barang-barang elektronik. Pertukaran berdasarkan nilai uang ringgit (Straits Dollar). Uang kita beredar juga namun nilai dollar lebih kuat.
Dengan naik. perahu motor rombongan P3 PDRI menuju Sidinginan, dengan singgah sebentar di Sikeladipanjang dan Sintong. Oi Sidinginan hanya beberapa jam, lantas mereka berlayar lagi ke Rantaubais dan bermalam di sana.

Tiba-tiba dalam gelap pekat kira-kira pukul 19.30 muncullah Letnan Sumihar Siagian. la menyamar sebagai pedagang. Kepada suami saya ia selain melaporkan tugas yang dilakukannya sesuai perintah tanggal18 Desember 1948, juga menegaskan bahwa mudah mudahan rencana yang digariskan oleh suami saya selaku pimpinan P3 PDRI berhasil baik. Namun demikian, tambahnya, harus hatihati dan waspada. Esok harinya pimpinan P3 PDRI mengadakan pertemuan dengan pemuka-pemuka kampung Rantaubais, tujuannya hendak memperoleh keterangan mengenai kekuatan Belanda dan gerak-gerik mata-mata musuh, karena kampung itu sudah dekat jaraknya dari Bagansiapiapi. Seusai pertemuan Letnan Sumihar Siagian menyarankan agar suami saya dan pesertanya segera kembali ke Sidinginan, karena Rantaubais kurang aman bagi pimpinan P3 PDRI. Konon patroli Belanda terkadang datang dari Bagansiapi-api dan Tanah Putih. Karena itu menjelang pukul 16.00 suami saya dan rombongan, termasuk Letnan Sumihar Siagian, kembali ke Sidinginan.

Pertemuan dengan pemuka-pemuka kampung Sidinginan diselenggarakan esok paginya, tanggal 23 Januari 1949, bertempat di rumah penghulu kampung, Mahidin. Suami saya mula-mula menjelaskan rencana tekad kita, bukan hanya pemerintah dan TNI, tetapi seluruh rakyat, untuk rnenghalau penjajah. Mereka telah merugikan kita karena serangan-serangannya yang ganas dan menduduki kota-kota kita. Karena kita harus melanjutkan perjuangan nenek-moyang kita, seperti Raja Sisingamangaraja yang memimpin perlawanan terhadap penjajah di Tanah Batak, Teuku Cik Ditiro di Aceh, Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, dan para pemimpin bangsa lainnya. Mereka dulu hanya menggunakan tombak, parang atau sumpitan, maka sekarang pun kita harus mampu menggunakan senjata apa saja untuk melakukan perang gerilya. Dan senjata yang lebih hebat lagi adalah persatuan sesama kita. Persatuan itu harus dijaga dan diperkuat, jangan sampai runtuh akibat hasutan kaki tangan musuh.

Sesuai dengan perintah Panglima Sumatera Kolonel Hidayat, rakyat wajib melaporkan kepada atasan jika dalam masyarakat terdapat kaki tangan musuh. Juga perlu segera dilaporkan hila ada patroli Belanda yang bergerak dari Tanah Putih dan Bagansiapi-api.
Sebagai pimpinan P3 PDRI suami saya mengumumkan sekalian bahwa sejak hari itu di Sidinginan ditetapkan sebagai pos komando P3 PDRI. Juga diumumkan bahwa Lubuk Bendahara dijadikan gudang transit. Untuk pos di Lubuk Bendahara ini ditunjuk sebagai staf P3 PDRI beberapa anggota dari KDMRU, yaitu Letnan R. Sukana, Letnan Muda M. Husin, Sersan Mayor Subaki, dan Sersan Mayor Sahbudin. Tugas mereka menyimpan barang-barang yang dikirim dari Sidinginan, selanjutnya menyalurkan kepada satuan-satuan tempur di Panyabungan, Pangaribuan, Sidikalang, dan Bonandolok, keempat-empatnya di Tapanuli; selanjutnya mengirimkan juga ke Detasemen Komando Sumatera di Rao, ke Sub Teritorial IX di Suli.ki, ke KOMRU di Rao, ke KDMRS di Lipat Kain, dan ke tempat lain yang ditunjuk.

Sejak hari itu pembelian dan pengumpulan perbekalan mulai digiatkan. Semua bahan dagangan yang dibawa pedagang dari Rokan Kiri dan Rokan Kanan dibeli oleh P3 PDRI, langsung ditukarkan dengan barang-barang dari luar negeri seperti kain, garam, dan radio. Barang-barang itu segera dikirim ke garis belakang, yaitu ke Lubuk Bendahara, diantar oleh Sersan Mayor G.G. Simamora yang akan menyerahkan kepada Letnan Sukana.

Pengangkutan dan penyaluran barang-barang selanjutnya ditetapkan melaluijalur: dari Sidinginan menuju Ujung Batu diangkut dengan perahu motor, dari sana ke Lubuk Bendahara dengan sampan, selanjutnya ke satuan-satuan melalui Sungai Rokan dengan menggunakan sampan. Di Rokan barang-barang itu diambil oleh staf perbekalan satuan yang bersangkutan, dipikul atau diangkut dengan kuda.
Pernah terjadi kesalah pahaman dalam soal kewenangan pengangkutan barang perbekalan. Ketika barang-barang P3 PDRI yang dikirim dari Sidinginan tiba di Rokan, yang menurut rencana seterusnya akan diangkut ke Pintu Padang dan selanjutnya ke Komando TTS di Rao, Camat Rokan berdasarkan peraturan dan kewenangannya menyita barang-barang itu dari sampan. Menurut Camat Rokan Tengku Kamarul Zaman, barang yang diangkut melalui Rokan harus diketahui lebih dulu oleh Camat Militer. Untuk menyelesaikan persoalan itu Mayor Chairul Basri, Kepala Intel Komando TIS, terpaksa berangkat dari Rao menuju Rokan. Untuk lebih memperlancar pengiriman barang, suami saya mengangkat Camat Rokan menjadi pembantu utama P3 PDRI bagian transportasi.

*
(klik untuk membaca sambungan)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.