eBook 11-1: Kebijaksanaan atas Peristiwa 17 Oktober

XI. KEBIJAKSANAAN ATAS PERISTIWA 17 0KTOBER

* Pelaksana Kepala Staf TT Sriwijaya

* Menyempurnakan sistem kerja dan pengawasan

* Menghormati tradisi dan senioritas

* Berbagai tugas di luar negeri

Agar dapat segera menjalankan tugasnya sebagai Wakil Kepala Staf IT II Sriwijaya, suami saya berangkat ke Palembang. Saya dan anakanak masih tinggal di Medan.

Setibanya di Palembang temyata ia bukan saja menjabat sebagai Wakil Kepala Staf, tetapi juga diberi tugas oleh Pejabat Panglima Letnan. Kolonel Kosasih sebagai Pelaksana Kepala StafTT II Sriwijaya, karena KepalaStaf yang lama baru saja dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat(MBAD) di Jakarta. Panglima yang lama, Kolonel Bambang Utoyo, baru saja pension.

Saat itu keadaan politik di Palembang mulai memanas, akibat Peristiwa17Oktober 1952 yang terjadi diJakarta..Suamisaya bersikap hati-hati dan waspada, dan tetap menjalankan tugas secara bijaksana agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Dalam keadaan yang gawat itu anak saya Salomo yang baru berumur enam belas bulan sakit keras. Beberapa kali saya menelegram suami agar menengok ke Medan, namun karena tugasnya yang tidak dapat disisihkan, ia belum dapat menengok kami di Medan.

Karena sakit Salomo belum juga sembuh, saya berkeras hati meminta ayahnya agar dapat pulang ke Medan, walau sejenak saja. Sungguh Tuhan Maha Penyayang, suami saya dapat menyempatkan diri menengok, dan malam itu juga Salomo berangsur sembuh.

Esok paginya suami saya kembali ke Palembang, sedangkan saya dan anak-anak masih tinggal di Medan. Perpisahan bagi kami sudah terbiasa karena tugas suami memang menghendaki demikian.
Setibanya di Palembang situasi di antara para perwira tampak ada yang pro dan kontra dengan situasi yang mendorong tercetusnya Peristiwa 17 Oktober. Bahkan perbedaan pendapat sudah menjalar pada para bintara dan tamtama. Keadaan yang sewaktu-waktu bisa menjurus pada perpecahan itulah yang harus diatasi oleh Panglima Kosasih dan suami saya selaku Pelaksana Kepala Staf. Juga Gubernur Sumatera Selatan Dr. H. Isa dan tokoh terkemuka Dr. A.K. Gani membantu mencari penyelesaian yang sebijaksana mungkin.

Tetapi tiba-tiba Letnan Kolonel Kretarto, Komandan Brigade XI, pada tanggal 2 November 1952 tanpa setahu atasan mulai bertindak sendiri. Komandan Brigade di Lampung ini mengeluarkan pengumuman bahwa Panglima Letnan Kolonel Kosasih tidak mungkin menjalankan tugasnya lagi, dan sementara menunggu keputusan dari atasan ia mengangkat dirinya menjadi Pejabat Panglima TT II Sriwijaya.

Untuk mengatasi situasi yang gawat ini Kapten Alamsyah mengambil prakarsa mengadaka pertemuan dengan para perwiraTT II Sriwijaya. Ia menyalahkan tindakan yang diambil oleh Letnan Kolonel Kretarto yang tidak diketahui dan tidak dibicarakan dulu dengan pihak atasan yang berwenang. Ia menemui Letnan Kolonel Kretarto dan minta agar tidak memasuki markas TT II Sriwijaya, apalagi untuk mengambil pimpinan.

Semua prakarsa Kapten Alamsyah itu selalu dilaporkan kepada suami saya selaku Pelaksana Kepala StafIT II Sriwijaya, sehingga di antara keduanya terjalin pengertian yang erat.

Dalam pada itu pemerintah pusat, khususnya pimpinan Angkatan Darat, bertindak cepat. Kolonel Bambang Utoyo, mantan Panglima TT Sriwijaya yang sudah pensiun, diangkat kembali menjadi Panglima. Cara penyelesaian ini tidak lepas dari bantuan pemikiran dari tokohtokoh Sumatera Selatan, yaitu Dr. A.K. Gani dan Gubemur Dr. lsa. Dengan demikian Panglima Kolonel Bambang Utoyo dan Pelaksana Kepala Staf dapat membina kembali persatuan diantara semua anggota dan jajaran dalam TT ll Sriwijaya.

Atas kepercayaan penuh dari Panglima, suami saya menata kembali disiplin dan kepaduan dalam semua jajaranIT II Sriwijaya, antara lain dengan mengadakan latihan-latihan pendidikan bagi semua satuan, termasuk penggiatan olahraga. Sistem kerja Staf disempurnakan, dan pengawasan ditingkatkan. Kegiatan Polisi Militer di dalam jam kerja maupun di luar jam kerja juga ditingkatkan. Maka dengan melakukan sistem kerja dan penegakan disiplin, semua anggota pun makin sibuk, dan dengan sendirinya tidak terpengaruh oleh pergolakan politik akibat Peristiwa 17 Oktober. Karena kebijaksanaan Panglima dapat dijalankan oleh suami saya selaku Pelaksana Kepala Staf, dalam waktu singkat tata tertib, disiplin dan persatuan dapat tercipta kembali di lingkungan TI II Sriwijaya.
*
Walaupun tata tertib dan harmoni sudah tercipta di lingkungan TT II Sriwijaya, namun suasana panas di Jakarta masih terasa akibat Peristiwa 17 Oktober. Kabinet Wilopo bubar; sebagai penggantinya terbentuk Kabinet Ali Sastroamidjojo, sedangkan Mr. lwa Kusumasumantri menjadi Menteri Pertahanan. Kolonel Bambang Sugeng diangkat menjadi Kepala StafAngkatan Darat Tampaknya persatuan dikalangan Angkatan Darat dapat dipulihkan melalui penandatanganan Piagam Yogya, namun hanya berlangsung sebentar. Kolonel Bambang Sugeng mengajukan permintaan berhenti; sebagai pengganti diangkatlah Kolonel Zulkifli Lubis sebagai Pejabat Kepala Staf Angkatan Darat sementara menunggu keputusan lebih lanjut. Tak lama kemudian Pemerintah menawarkan jabatan Kepala Staf Angkatan Darat kepada Kolonel Zulkifi Kolonel Sudirman, dan Kolonel Bambang Utoyo. Temyata Wakil Presiden, dan ketiga perwira yang bersangkutan menolak. Akhirnya Kolonel Bambang Utoyo diminta mengisi jabatan yang namun ia menolak karena alasan kesehatan. Mr. lwa Kus tetap membujuknya. Melihat jepitan itu, kata orang, Ny. Bambang berkata kepada ajudan Panglima TT II A.M. Tambunan: "Kalau tidak jadi KSAD, kita akan potong kambing."

Suami saya juga menasihati Kolonel Bambang Utoyo agar tidak bersedia menerima tawaran dari Mr. lwa Kusumasumantri alasan: pertama, pengangkatan menjadi KSAD itu bisa menim masalah karena masih ada perwira-perwira lain yang lebih senior; dan kedua, kesehatan yang tidak mengizinkan.

Mr. Iwa Kusumasumantri yang mendengamya, menjadi gusar. Suami saya dibujuk dan dinasihati pula, tetapi tetap pada pendiriannya bahwa sesuai dengan tradisi Angkatan Darat, senioritas perlu dihormati. Karena tidak dapat dibujuk, lantas diintimidasi. Namun suami saya tetap pada pendiriannya.

Pemerintah tetap memutuskan hendak melantik Kolonel Bambang Utoyo pada tanggal 27Juni 1955 serta menaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Dalam upacara pelantikan itu Mayor Jenderal Bambang Utoyo disertai oleh suami saya selaku Pelaksana Kepala Stal Komando TT II Sriwijaya dan Ajudan Letnan A.M. Tambunan: Kehadiran suami saya itu merupakan kesetiaan seorang Pelaksana Kepala Staf kepada Panglimanya. Temyata upacara pelantikan itu, sebagaimana diperkirakan oleh suami saya, diboikot oleh Angkatan Darat. Sekalipun para Menteri Kabinet hadir, tetapi hanya ada dua. orang Mayor yang menyaksikan, yaitu Mayor Sugandhi dan Mayor D.I Pandjaitan. Selain itu seorang Letnan, yaitu adjudan Panglima TT II Sriwijaya, Letnan A.M. Tambunan. Korps musik Angkatan Darat juga tidak ada, sehingga secara darurat disertakan korps musik Pemadam Kebakaran.

Mayor Jenderal Bambang Utoyo hanya dua malam tinggal di Jakarta karena serah terima jabatan KSAD tidak dapat berlangsung. Ia menerima ultimatum dari Kolonel Zulkifli Lubis agar tidak hadir di Markas Besar Angkatan Darat.

Dalam pada itu Kabinet pun mengembalikan mandatnya, digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet ini berhasil melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) yang pertama di Indonesia, yaitu di tahun 1955.

Panglima Komando TT II Sriwijaya yang baru, Kolonel Dr. Ibnu Sutowo, dan suami saya selaku Pelaksana Kepala Staf, sebelumnya sudah membuat persiapan agar Pemilu di lingkungan TT II Sriwijaya tidak menimbulkan akibat sampingan, karena anggota TNI boleh memberikan suaranya kepada partai politik yang dipilihnya. Yang dijaga secara waspada, jangan sampai perbedaan pilihan itu bias menimbulkan perpecahan. Dan terbukti usaha yang dilakukan oleh Komando TI II Sriwijaya itu dapat mencegah kemungkinan adanya perpecahan, bahkan selanjutnya persatuan dan kesatuan dapat dipertahankan.
*
Sejak suami saya bertugas di Palembang, keluarga kami bertambah dua orang. Pada tangga114 Oktober 1953 di Rumah Sakit Tentara saya melahirkan seorang putera. Anak keempat ini diberi nama Hotmangaraja Pontas Pandjaitan, dengan nama panggilan Oce.
Dua tahun kemudian, tepatnya tanggal 9 November 1955, kami dikaruniai anak lagi, seorang puteri, yang juga lahir di Rumah Sakit Tentara. Nama yang diberikan oleh ayahnya ialah Tuty boru Pandjaitan.
*
klik untuk bersambung