eBook 12-1: Usaha Mencegah Pemberontakan PRRI-Permesta

XII. USAHA MENCEGAH PEMBERONTAKAN PRRI-PERMESTA


* Sipandoit di meja makan

* Perwira TNI berkhotbah di gereja Jerman

* Membina mahasiswa kita di Eropa

* Dikuntit dan difitnah

Sambil menikmati makanan a La Eropa yang saya suguhkan selaku nyonya rumah kepada Pendeta de Kleine, kami menerima pertanyaan dari pendeta berkebangsaan Jerman itu yang mengagetkan: "Ai ndang adong sipandoit?" Maksudnya, apakah tidak ada penyengat? Lebih jelas lagi, ia menanyakan apakah tidak ada cabe?

Suami saya segera memberi isyarat kepada saya agar segera menyuguhkan cabe di atas meja makan. Saya tersipu-sipu. Rupanya Pendeta de Kleine gemar cabe juga, sebab dulu sebagai pendeta ia pemah beberapa lama bertugas di Tanah Batak, sehingga sangat fasih menggunakan bahasa Batak. Adapun kata sipandoit adalah padanan untuk lasiak, cabe. Tetapi lasiak termasuk bahasa pasaran, sedangkan bahasa Batak yang digunakan oleh Pendeta selalu bahasa halus, atau bahasa Batak tinggi. Kata-kata kiasan dalam bahasa Batak halus sering digunakan dalam khotbah, ratapan atau upacara adat.

Setahun kemudian Atmil Kolonel Askari selesai tugasnya dan kembali ke Indonesia; suami saya menggantikannya sebagai Atmil.

Undangan atau kunjungan atau pergaulan yang dilakukan oleh suami saya dengan tokoh-tokoh agama di Jerman Barat memang merupakan bagian dari pendekatan untuk mengetahui latar belakang perkembangan situasi politik, sosial dan budaya. Begitu pula terhadap tokoh-tokoh militer dan pemerintahan.

Pendekatan terhadap kalangan agama ini dapat segera dimulai karena Pendeta de Kleine menjadi Direktur Rheinische Mission Gesellschaft (RMG) yang berpusatdi Wuppertal-Barmen, sedangkan suami saya alumnus dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh RMG di daerah Batak. Pendeta de Kleine sering berkunjung ke rumah kami, begitu pula kami sering bertandang ke rumah de Kleine di Barmen.

Pada suatu hari suami saya diundang agar menghadiri sebuah pertemuan yang khusus diadakan oleh Pendeta de Kleine bagi tokoh-tokoh Gereja Protestan Jerman di Wuppertal-Barmen. Pendeta itu memintanya agar memberikan ceramah tentang Indonesia, khususnya mengenai Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), yang pada mulanya didirikan oleh Mission Zending Barmen, Jerman.

Sebuah catatan khusus, dalam pertemuan itu suami saya diminta supaya mengenakan pakaian seragam TNI, sedangkan saya supaya memakai pakaian nasional, kain kebaya. Putera-puteri kami pun diminta supaya ikut serta. Mungkin maksudnya agar masyarakat Jerman mengetahui dan bangga, bahwa ada perwira TNI yang berasal dari Tanah Batak, tempat Mission Zending bertugas menyebarkan agama Kristen di sana sejak sebelum penjajahan.

Dalam ceramah yang diucapkan dalam bahasa Jerman itu suami saya berkata:

"Dunia bisa berubah. Kalau dulu orang Jerman yang datang dan memberi khotbah kepada orang Batak, nanti bisa terbalik, orang Batak yang datang ke sini dan memberi khotbah kepada orang Jerman."

Mereka yang hadir tersenyum dan mengiyakan.

Apalagi di gereja Venusberg, yaitu gereja di tempat tinggal kami. Dengan landasan keakraban hubungan antar manusia, suami saya membina pula hubungan antara keluarga kami dengan pimpinan dan semua anggota gereja. Dengan bahasa Jerman yang dikuasainya ia dapat berdialog dengan para pengunjung gereja. Bahkan pimpinan gereja Venusberg juga meminta agar suami saya mengucapkan khotbah pada suatu kebaktian Minggu di gereja itu. Khotbah pun diucapkan dalam bahasa Jerman sehingga lebih meresap dan menarik perhatian. Suami saya memang bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan khotbahnya. Saya lihat beberapa malam sebelumnya ia menulis khotbahnya berdasarkan berbagai catatan tentang sejarah dan perkembangan gereja Kristen Protestan di Sumatera Utara. Inilah barangkali yang menyebabkan suami saya kemudian mendapat sebutan pendeta diantara rekan-rekannya. Jenderal Yani pun dikemudianhari menyebutnya "Pendeta."

Mantan pendeta Preuss yang dulu memimpin gereja Venusberg, yang sekarang sudah berumur 86 tahun dan kini tinggal di Bonn-Bad Godesberg, masih suka terkenang akan akrabnya hubungan dirinya dengan keluarga kami.

Pendekatan dan keakraban suami saya dengan kalangan agama di Jerman Barat itu memudahkan Atase Militer Kolonel Askari dan Duta Besar Mr. Zairin Zain memahami keadaan dan kemungkinan perkembangan politik di sana. Suami saya sendiri menjadi akrab dengan banyak kalangan, sehingga mudah menghubungi pimpinan militer dan pemerintahan Jerman Barat. Mengingat waktu itu masih terdapat Negara Jerman Timur, dan Blok Negara-negara Eropa Timur yang berhaluan komunis, maka pemahaman dan pengetahuan mengenai perkembangan politik di kawasan Eropa sangat penting. Adapun perkembangan situasi politik di Eropa niscaya ada dampaknya di tanah air.
*

Sejak tahun 1952 pemerintah kita mulai mengirimkan mahasiswa Indonesia ke Eropa Barat untuk melanjutkan pendidikan, termasuk mahasiswa-mahasiswa bekas Tentara Pelajar Brigade 17 melalui pemberian beasiswa. Tokoh-tokoh pemuda waktu itu seperti Chairui Saleh, Achmadi, dan Achadi termasuk gelombang pertama yang dikirimkan ke Eropa. Pada tahun 1955 di Bad Honnef diadakan pertemuan mahasiswa seluruh Eropa, yang melahirkan sebuah organisasi, yaitu Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Chairul Saleh dan Achmadi mengambil peranan dalam menggalang potensi mahasiswa yang revolusioner pada setiap cabang PPI. Maka akibatnya terjadi polarisasi. Konon Chairul Saleh memerlukan dukungan kaum intelektual juga. Terbentuk pula organisasi mahasiswa dari kelompok Potensi Revolusioner. Kelompok lain yang tidak menyetujui membentuk organisasi lain yang menempatkan “Pancasila sebagai moral dan etik bangsa". Ada lagi kelompok lain yang semata mata hanya ingin belajar dan memperdalam ilmu. Terdapat pula kelompok lain, terutama di Eropa Timur, yang sudah terbina oleh CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang pro-PKI.

Suami saya amat suka berdiskusi, bertukar pikiran. Dalam hal ini ia terbuka sekali. Sebab itu pula rupanya, para mahasiswa yang sedang bersemangat mencari kebenaran, Nampak suka sekali berbicara dengan suami saya. Bonar Sirait, yang pada waktu itu mahasiswa jurusan filsafat di Bonn, adalah salah seorang mitra diskusinya, seperti dikenang Diapari Gultom.

Melihat terjadinya kelompok-kelompok yang berbeda dalam orientasi politik itu, suami saya berusaha mempersatukannya agar tidak menimbulkan perpecahan yang berlarut-larut dan tidak terkendali. Dengan penuh keyakinan suami saya secara berkala menjelaskan kepada para mahasiswa perlunya memahami dan mengamalkan Pancasila sebagai falsafah dan pedoman untuk berbangsa dan bernegara. Dengan Pancasila, perbedaan dalam berbagai pandangan dapat didekatkan tanpa perlu mengorbankan kepentingan bersama, begitu pula dapatmenyisihkan pendapat yang semata-mata berdasar· kan kepentingan tertentu, pun kepentingan dari pihak Iuar. Pancasila, kata suami saya, telah terbukti dapat mempersatukan semua suku bangsa dan golongan, seperti apa yang terjadi dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankannya.

Kebetulan jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Jerman Barat paling banyak dibandingkan dengan mereka yang belajar di negara-negara Eropa lainnya. Penanganan dilakukan secara aktif. Saya lihat kelompok "Pancasila Moraldan Etik" sering berkonsultasi dengan suami saya. Adapun kelompok yang "revolusioner" makin tampak "kekiri-kirian". Penanganan masalah polarisasi politis itu sungguh memerlukan kebijaksanaan.

Dalam pada itu di tahun 1958 pemberontakan PRRI dan Permesta semakin meretakkan persatuan mahasiswa Indonesia di Eropa, diantara mereka ada yang menghendaki agar pemberontakan itu segera ditumpas, dan ada yang menghendaki agar ditempuh jalan musyawarah. Sudah barang tentu yang digunakan oleh suami saya adalah pedoman yang digariskan oleh pemerintah.

Dalam tahun 1957seorang mahasiswa anggota PPI yang menuntut pelajaran diJerman, B.J. Habibie, yang usianya baru 21 tahun, menemui suami saya guna menyampaikan gagasan perlunya PPI mengadakan Seminar Pembangunan. la memangsudah dikenal baiksekali oleh kami sekeluarga karena sering datang ke rumah, yang selain berdiskusi dengan suamisaya, jugasaya sajikan hidangan masakan Indonesiayang dirindukan oleh mahasiswa-mahasiswa yang tinggal di Eropa. Habibie akrab sekali pula dengan Katherin dan Salomo ketika belajar di Gymnasium.

Mengapa Habibie justru menemui suami saya yang Atase Militer untuk mengemukakan gagasannya tentang seminar pembangunan, bukan menemui pejabat-pejabat yang mengurus soal kemahasiswaan, pendidikan dan pelajaran? Habibie mengatakan bahwa mereka itu hanya ingin mengurus soal-soal beasiswa dan administrasi saja, begitu pula dengan pihak atasandiJakarta yang dirasakan hanya menekankan soal politik. Padahal usul yang dikemukakannya mengenai masalah pembangunan masa depan itu juga merupakan pertanggungjawaban mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri. Adapun usul dan penjelasan tentang rencana seminar pembangunan itu sengaja disampaikannya kepada suami saya yang dianggapnya mengerti dan memahami aspirasi mahasiswa, dan senantiasa membina mahasiswa sebagai kader pembangunan dan harapan bangsa.

Pemuda Habibie pulang dari rumah kami dengan menyatakan kelegaan hatinya, karena bukan saja memperoleh dorongan semangaij tetapijuga dukungan dan pengarahan.
*

Di kemudian hari, bertahun-tahun kemudian, hampir 40 tahun kemudian, setelah pemuda Habibie mendapatkan kepercayaan dari Presiden Soeharto sebagai Menristek yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan bangsa, dalam percakapan dengan keluarga kami menyebutsuami saya sebagai pemberi inspirasi tentang pembangunan negara.

"Saya mempunyai kesan dan penilaian khusus terhadap Mayor Jenderal Anumerta D.I. Pandjaitan," kata Menristek B.J. Habibie, "bahwa Almarhum adalah prajurit pejuang, yang dekat sekali dengan rakyat, khususnya mahasiswa dan pemuda sebagai harapan bangsa. Nasihat dan sikapnya menjadi inspirasi dan panutan bagi siapa saja yang berjuang membangun bangsa. Visinya dan pandangannya ke masa depan sungguhmengilhami kami pemuda dan mahasiswa yang merasa bertanggungjawab terhadap masa depan. Pembinaan yang diberikan kepada kami berdasarkan hal-hal yang realistis, sikap dan tindakan yang pragmatis, sehingga kami diarahkan agar mampu membuat terobosan. Nasihat dan pembinaannya sungguh mempengaruhi karakter dan sik.ap saya, dan juga pemuda-pemuda lain yang dekat dengan Almarhum. Beliau benar-benar seorang prajurit pejuang dan pahlawan, pahlawan Revolusi." Demikian kesan penilaian Menristek B.J. Habibie.

Dalam bulan Juli 1958 seminar pembangunan yang semula diusulkan oleh B.J. Habibie dilangsungkan oleh PPl di Hamburg. Ketika seminar tengah berlangsung, Presiden mengumunman Dekrit 5 Juli 1959, yaitu berlakunya kembali Undang-Undang Oasar 1945. Seminar yang dipimpin oleh Midian Sirait, Iskandar Alisjahbana, Y. Gultom, Arifin Musnadi dan Safril menyatakan mendukung Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dalam bulan Desember1959 PPI Jerman Barat mengadakan kongres di Aachen. Pengurus baru pun terbentuk: Midian Sirait menjadi Ketua, dan Sekretaris Jendralnya lr. Pamuntjak. Terselenggaranya kongres ini tidak terlepas dari prakarsa Duta Besar Zairin Zain, namun yang melakukan pendekatan kepada para mahasiswa adalah suami saya. Begitu akrabnya para mahasiswa itu dengan suami saya sehingga mereka sering benar berbicara dan meminta pendapat di rumah kami. Tentu saja akhirnya dengan harapan atau maksud agar mereka mendapat suguhan masakan Indonesia yang saya sediakan. Saya memakluminya dengan senang hati.